Bisnis.com, JAKARTA--Pengamat kebijakan publik dari The Prakarsa, Ah Maftuchan menilai bahwa masih ada operator telekomunikasi yang menguasai frekuensi namun tidak dimanfaatkan secara maksimal.
Hal tersebut, menurutnya menjadikan frekuensi itu sebagai lahan tidur dan membuat layanan akses Internet jadi tidak merata ke seluruh Indonesia. Dia mengatakan bahwa pengembangan akses data atau Internet yang baik oleh operator dinilai dapat menunjang pengembangan ekonomi digital secara nasional dan membuat masyarakat sejahtera.
"Optimalisasi frekuensi tersebut bisa menciptakan ketersediaan tarif akses internet yang terjangkau dan murah. Jadi, frekuensi broadband seharusnya dioptimalkan pemanfaatannya agar frekuensi tidak menjadi lahan tidur karena dikuasai oleh operator tetapi tidak dimanfaatkan," tutur Maftuchan dalam keterangan resminya di Jakarta, Jumat (15/11).
Sementara itu, ahli komunikasi dan telekomunikasi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Kuskridho Dodi Ambardhi berpandangan bahwa akses data atau layanan Internet kini sudah semakin berkembang dan menjadi kebutuhan dasar bagi masyarakat kecil.
Menurutnya, Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika perlu bersiap diri untuk melakukan penataan ulang pita frekuensi dengan mempertimbangkan agenda prioritas dari Presiden Jokowi dalam hal pengembangan semua perusahaan rintisan (startup).
“Lelang frekuensi BWA misalnya, itu semua perlu mempertimbangkan operator yang terbukti berkomitmen membangun pemanfaatan frekuensi broadband secara optimal, efektif, dan efisien," katanya.
Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif CITA, Yustinus Pratowo yang menyebutkan perusahaan telekomunikasi pemegang lisensi frekuensi BWA 2300 MHz saat ini kurang optimal dari aspek memanfaatkannya.
Hal ini juga berdampak langsung pada hilangnya potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor telekomunikasi informasi.
“Sektor PNBP Kominfo terkena dampak langsung, akibat selama sepuluh tahun usia perizinannya, Kominfo hanya memperoleh 72% dari target PNBP BWA atau sekitar Rp 4.1 triliun. Jumlah tersebut jauh lebih kecil nilainya apabila dibandingkan dengan pendapatan 2300 MHz," ujarnya.