Bisnis.com, JAKARTA — Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) menilai biaya investasi 5G yang tinggi masih menjadi tantangan bagi negara-negara lain berinvestasi di Indonesia dalam pengembangan teknologi jaringan terbaru itu.
Ketua umum Mastel, Sarwoto Atmosutarno mengatakan bahwa biaya frekuensi untuk membangun jaringan 5G di Indonesia masih mahal.
Laporan GSMA mengungkap total biaya biaya hak penggunaan frekuensi yang harus dibayarkan perusahaan operator seluler bisa mencapai 12% dari total pendapatan tahunan.
GSMA meramal kondisi ini terus meningkat menjadi 20% dari total pendapatan pada 2030. Padahal, di sisi lain peningkatan pendapatan mereka juga cenderung mengalami penurunan.
Selain biaya frekuensi, Sarwoto menyebut kondisi geografis yang kompleks dan tingkat adopsi perangkat yang masih rendah menjadi tantangan untuk mengakselerasi 5G di Tanah Air.
“Padahal peluang 5G besar, dengan berbagai use cases seperti fixed broadband, mobile broadband, IoT, dan kecerdasan buatan (AI) baik untuk pengguna massal maupun sektor privat,” kata Sarwoto kepada Bisnis, Rabu (16/4/2025).
Adapun, pemerintah membuka peluang untuk menjajaki kerja sama dengan India untuk mempercepat akselerasi 5G di Tanah Air.
Pemerintah menyoroti pentingnya diversifikasi teknologi agar Indonesia tidak hanya bergantung pada teknologi dari Amerika Serikat dan China.
India dipandang sebagai mitra strategis baru yang bisa memberikan alternatif teknologi 5G yang kompetitif dan terbukti efektif.
Sarwoto melihat bahwa India memang bisa menjadi patokan bagi Indonesia untuk mengembangkan jaringan 5G. Sebab, India dinilai berhasil dalam mendorong pertumbuhan 5G melalui insentif yang konkret.
Apalagi, India merupakan salah satu negara dengan penetrasi jaringan 5G tercepat di dunia sejak diluncurkan secara komersial pada Oktober 2022 menurut Economic Times.
“Misalnya, pembebasan biaya frekuensi 5G untuk waktu tertentu. Kita masih belum punya kebijakan seperti itu,” ucapnya.
Hal senada juga dikatakan oleh Direktur Eksekutif ICT sekaligus pengamat ekonomi digital, Heru Sutadi, yang mengatakan bahwa negara sah-sah saja melakukan kerja sama dengan siapapun.
“Tapi memang, harus jelas kerja sama nya seperti apa,” ujar Heru.
Namun, Heru melihat bahwa mahalnya biaya spektrum frekuensi dan minimnya insentif bagi operator telekomunikasi menjadi tantangan bagi negara yang ingin bekerjasama untuk mengakselerasi 5G.
Heru menuturkan, meskipun banyak negara menunjukkan ketertarikan untuk masuk ke pasar Indonesia dengan membawa teknologi 5G, persoalan utamanya bukan pada aspek teknologi tetapi pada biaya investasi.
“Hanya saja, isu utama kita akselerasi 5G bukan teknologi tapi spektrum frekuensi dan insentif bagi operator telekomunikasi karena regulatory cost yang sangat besar,” tutur.