Era Bakar Duit Starlink Bakal Berakhir

Leo Dwi Jatmiko
Senin, 2 Juni 2025 | 10:00 WIB
Satelit SpaceX meluncurkan 12 Starlink dari Florida, Amerika Serikat/dok. Tangkapan layar SpaceX
Satelit SpaceX meluncurkan 12 Starlink dari Florida, Amerika Serikat/dok. Tangkapan layar SpaceX
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA — Harga layanan satelit orbit rendah, Starlink, yang dipatok mulai dari Rp700.000-an per bulan dinilai sebagai harga promo yang sewaktu-waktu dapat menghilang. Pengusaha satelit lokal meyakini era ‘bakar duit’ tersebut segera berakhir.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Satelit Indonesia, Sigit Jatiputro menilai strategi harga murah yang selama ini diterapkan Starlink tak bisa berlangsung selamanya. Dia memperkirakan harga layanan satelit berbasis Low Earth Orbit (LEO) seperti Starlink berpotensi naik dalam waktu 2-3 tahun ke depan, tergantung dinamika pasar dan geopolitik.

Menurut Sigit, model bisnis Starlink memang berbeda dari operator satelit konvensional. Sebagai satelit yang dapat melayani seluruh dunia,

Starlink kemungkinan menerapkan skema subsidi sehingga setiap wilayah berbeda-beda. Ada yang murah, ada juga yang mahal. Namun, pada akhirnya harga layanan tersebut akan naik secara merata.

“Prosesnya mahal, sebenarnya mahal. Jadi mereka bakar duit. Mereka punya bisnis model yang beda banget cara dapetin uangnya,” ujar Sigit kepada Bisnis, Senin (2/5/2025).

Dia mencontohkan, di negara asal seperti Amerika Serikat, Starlink bisa menutup sebagian besar biaya operasional lewat proyek-proyek Universal Service Obligation (USO) atau subsidi pemerintah. Sementara itu pendapatan dari luar negeri, hanya tambahan pendapatan karena satelit Starlink melewati suatu wilayah.

“Dia berani karena sebagian udah ditanggung di negaranya,” jelasnya.

Sigit menegaskan, harga layanan satelit ke depan sangat bergantung pada beberapa faktor. Salah satunya adalah kondisi krisis global yang bisa mengganggu rantai pasok dan menekan kapasitas satelit di kawasan tertentu.

Di sisi lain, Sigit melihat dalam 2-3 tahun mendatang, jumlah pemain layanan satelit LEO akan bertambah seiring banyak negara yang meluncurkan satelit serupa. Pada kondisi tersebut dia mengingatkan perlunya regulasi yang tepat agar ekonomi digital tetap berjalan dan kepentingan nasional tetap terjaga.

Sigit juga menyoroti aspek keamanan data, terutama untuk sektor-sektor strategis seperti perbankan dan pertambangan. Dia menilai, ke depan, keamanan data akan menjadi prioritas utama dibanding sekadar efisiensi biaya.

“Bayangin aja kalau misalnya di 3 tahun lagi ada 10 operator kayak gitu. Kira-kira gimana membuat regulasi yang pas supaya ekonominya jalan, tapi juga di dalam terproteksi,” tegas Sigit.

Terkait regulasi, Sigit menyebut sudah ada aturan perlindungan data pribadi (PDP) dan kewajiban penempatan data center di Indonesia. Namun, dia mengakui implementasi di lapangan masih menghadapi tantangan, terutama soal kepatuhan operator asing. “Aturannya ada, masalahnya dari asing itu apakah mereka comply pada itu, kita enggak tahu. Selalu ada kekhususan ketika diberikan izin,” kata Sigit.

Nasib GEO

Sementara itu, kemunculan Starlink di Indonesia sejak 19 Mei 2024, membawa tantangan baru bagi industri satelit konvensional, khususnya satelit Geostationary Orbit (GEO).

Layanan LEO dikenal dengan latensi rendah dan bandwidth besar, serta harga yang lebih murah dibandingkan GEO. Namun, apakah ini berarti satelit GEO sudah tak relevan di era digital saat ini?

Sekretaris Jenderal Asosiasi Satelit Indonesia, Sigit Jatiputro, menilai persaingan dengan LEO memang semakin berat. Operator GEO harus dapat menyesuaikan model bisnis agar tetap kompetitif di mata publik.

“Saya enggak nyebut harga GEO harus diturunin, tapi bisnis modelnya harus lebih pas supaya bisa mendekati persepsi publik yang sama harganya dengan LEO,” tambahnya.

Meski begitu, Sigit menegaskan satelit GEO masih relevan, terutama untuk kebutuhan tertentu. “GEO efisien untuk area yang luas sekaligus, misalnya untuk siaran TV nasional atau komunikasi di daerah terpencil yang cakupannya besar,” jelasnya.

Selain itu, untuk sektor yang membutuhkan keamanan tinggi seperti perbankan dan pertahanan, satelit GEO tetap menjadi pilihan utama. “Kalau untuk keamanan, misalnya perbankan atau defense, enggak ada pilihan lain, harus pakai GEO. Kalau ke LEO, otomatis karena sekarang punyanya asing, itu pasti di luar pusat kontrol kita,” tegas Sigit.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Leo Dwi Jatmiko
Editor : Leo Dwi Jatmiko
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper