Bisnis.com, JAKARTA — Koalisi Masyarakat Sipil menilai kerja sama penyadapan antara Kejaksaan Agung dengan sejumlah operator telekomunikasi berpotensi melanggar hak atas privasi warga negara.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung melalui Jaksa Agung Muda Intelijen meneken nota kesepakatan (MoU) dengan empat operator, yakni PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, PT Telekomunikasi Selular, PT Indosat Tbk, dan PT XLSMART Telecom Sejahtera Tbk.
Kerja sama tersebut mencakup pertukaran dan pemanfaatan data serta informasi dalam rangka penegakan hukum, termasuk pemasangan perangkat penyadapan informasi serta penyediaan rekaman komunikasi. Kejaksaan mengklaim kerja sama ini memiliki dasar hukum melalui Pasal 30B Undang-Undang No. 11/2021 tentang perubahan atas UU Kejaksaan, khususnya dalam bidang intelijen penegakan hukum.
Namun, Koalisi Masyarakat Sipil melalui Direktur Kebijakan Publik Raksha Initiatives , Wahyudi Djafar, menyebut langkah itu sebagai bentuk pelanggaran terhadap sejumlah ketentuan hukum dan prinsip perlindungan hak asasi manusia, khususnya hak atas privasi. Menurutnya, MoU tersebut berpotensi bertentangan dengan Pasal 40 UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi yang secara eksplisit melarang kegiatan penyadapan informasi melalui jaringan telekomunikasi tanpa prosedur yang sah.
“Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun,” kata Wahyudi dalam keterangan resminya pada Kamis (26/6/2025)
Dia juga mengingatkan kerja sama semacam itu harus mengacu pada aturan hukum khusus mengenai penyadapan yang telah disahkan secara legislasi. Tanpa dasar tersebut, Wahyudi menilai penyadapan oleh Kejaksaan bisa masuk kategori arbitrary surveillance yang sewenang-wenang dan melanggar hak warga negara.
Koalisi Masyarakat Sipil pun mendesak agar Kejaksaan meninjau ulang dan membatalkan nota kesepakatan tersebut. Pasalnya, dalam hukum perdata, sebuah perjanjian hanya sah bila tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.
“MoU tersebut secara eksplisit bertentangan dengan Pasal 40 UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi. Sementara secara hukum, syarat sah suatu perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata, salah satunya adalah adanya causa yang halal, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,” tegas Wahyudi.
Dia menambahkan, tindakan penyadapan yang sah hanya dapat dilakukan apabila memenuhi sejumlah prasyarat, seperti otorisasi resmi dari pengadilan, batasan waktu penyadapan, pengelolaan terbatas atas hasil penyadapan, serta kontrol ketat terhadap siapa saja yang dapat mengakses data tersebut.
Selain itu, Wahyudi juga mempertanyakan posisi Kejaksaan dalam kerja sama ini, apakah berada dalam kerangka intelijen negara atau penegakan hukum. Menurutnya, kedua skema memiliki batasan hukum yang berbeda. Jika mengacu pada UU Intelijen Negara, setiap tindakan penyadapan bahkan harus dilakukan dengan izin Ketua Pengadilan Negeri apabila ingin dijadikan alat bukti di pengadilan.
“Dalam konteks penegakan hukum, tindakan penyadapan hanya dapat dilakukan atas perintah hakim dan berdasarkan kasus per kasus, sebagaimana ditegaskan Pasal 32 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia,” lanjut Wahyudi.
Dia mengutip Komentar Umum No. 16 dari Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, yang menekankan pentingnya menjaga integritas dan kerahasiaan komunikasi warga, termasuk larangan atas pengintaian dan penyadapan secara sembarangan.
Wahyudi juga menyampaikan risiko penyalahgunaan wewenang dalam praktik surveillance bisa berdampak serius, mulai dari pembatasan kebebasan berekspresi, ancaman terhadap hak berkumpul, hingga potensi miscarriage of justice yang mencederai sistem peradilan.
Dalam konteks Indonesia, dia menilai belum adanya UU khusus yang secara komprehensif mengatur penyadapan menjadi tantangan tersendiri. Padahal, Mahkamah Konstitusi telah memerintahkan pembentukan UU tersebut sejak 2010.
“Sayangnya, perintah Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK No. 5/PUU-VIII/2010 untuk membentuk undang-undang khusus tentang penyadapan, sejak 15 tahun lalu, belum ditindaklanjuti oleh Presiden dan DPR,” ungkapnya.
Selain mendesak pembatalan MoU, Koalisi juga meminta lperator telekomunikasi harus memastikan kepatuhannya terhadap UU telekomunikasi , terkait dengan larangan penyadapan, yang juga merupakan bagian dari komitmen perlindungan terhadap konsumen mereka, untuk melindungi privasi konsumen.
Mereka juga mendesak Presiden Prabowo Subianto dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menyegerakan proses pembahasan RUU tentang Penyadapan, untuk menjamin adanya kepastikan hukum penyadapan.
“Selain itu juga secara jelas merumuskan pengaturan mengenai prosedur penyadpaan dalam penanganan tindak pidana dalam materi revisi UU Hukum Acara Pidana [KUHAP],” kata Wahyudin.