Bisnis.com, JAKARTA— Teknologi kecerdasan buatan (AI) dinilai berpotensi menjadi katalis utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 10 kali lipat menuju visi Indonesia Emas 2045.
Untuk mencapainya, Indonesia perlu memperkuat ekosistem AI secara menyeluruh, mulai dari infrastruktur, tata kelola data, etika, hingga pengembangan talenta digital.
Presiden Kolaborasi Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial (KORIKA) Hammam Riza, menegaskan target Indonesia menjadi lima besar ekonomi dunia pada 2045 tidak akan tercapai dengan pendekatan konvensional.
“Kita perlu menjadikan AI sebagai akselerator. AI dapat merevolusi semua sektor strategis dan membawa kita dari ekonomi berbasis efisiensi menuju ekonomi berbasis inovasi,” kata Hammam dalam World AI Show Indonesia 2025 di Jakarta pada Selasa (8/7/2025).
Dia mengungkapkan berdasarkan proyeksi, kontribusi AI terhadap ekonomi Indonesia bisa mencapai US$366 miliar atau setara dengan Rp5.965,8 triliun (dengan asumsi kurs Rp16.300 per dolas AS) pada 2030.
Namun, untuk menjadi bangsa yang tidak hanya menjadi pasar AI melainkan juga pengembang AI, diperlukan kedaulatan digital yang kuat.
Hammam menyebutkan empat tantangan utama yang perlu dijawab dalam perjalanan AI Indonesia menuju 2045.
Beberapa di antaranya yakni kesenjangan talenta, infrastruktur dan akses, keamanan dan privasi data, serta regulasi dan etika.
“Saat ini kita butuh 9 juta talenta digital pada 2030, tapi jumlahnya baru sekitar 200 ribu. Ini menunjukkan urgensi pengembangan talenta secara inklusif,” katanya.
Senada dengan Hammam, Ayu Purwarianti, anggota Satuan Tugas Nasional Pengembangan Talenta AI Indonesia, menekankan pentingnya literasi AI bagi seluruh lapisan masyarakat. Menurutnya, AI harus dibagi dalam tiga pendekatan: AI untuk semua, AI untuk banyak orang, dan AI untuk sedikit orang.
“AI untuk semua berarti setiap orang Indonesia, bahkan yang tidak menggunakan atau mengembangkan AI sekalipun, tetap perlu memiliki literasi tentang AI. Mereka perlu tahu bahwa ada risiko di balik teknologi ini, seperti deepfake atau penipuan digital,” kata Ayu.
Sementara itu, CEO DANA Indonesia Vincent Henry Iswara melihat AI sebagai solusi untuk menjembatani kesenjangan antara inklusi keuangan dan literasi keuangan.
“Inklusi keuangan Indonesia sudah mencapai lebih dari 80%, tapi pertumbuhan literasi keuangan masih lambat. Banyak orang punya akses, tapi belum tahu apa yang bisa dilakukan dengan layanan keuangan yang tersedia,” kata Vincent.
Menurutnya, AI dapat membantu masyarakat memahami produk keuangan seperti tabungan, investasi, asuransi mikro, hingga kredit.
“Bayangkan jika setiap orang punya semacam penasihat keuangan cerdas berbasis AI yang bisa memberi saran sesuai kemampuan mereka. Ini bukan hal yang terlalu jauh, bahkan bisa terwujud dalam dua atau tiga tahun ke depan,” katanya.
Dia juga menyoroti peran AI dalam mendorong kemajuan sektor UMKM, yang menyerap lebih dari 80% tenaga kerja Indonesia. Menurutnya AI bisa membantu UMKM dalam perencanaan keuangan, manajemen modal kerja, hingga meningkatkan pendapatan.
“Ini penting untuk menciptakan ekonomi yang lebih sehat dan inklusif,” kata Vincent.