Bisnis.com, JAKARTA — Regulasi dari Badan Siber dan Sandi Negara dibutuhkan untuk mendorong pelaku usaha meningkatkan belanja keamanan siber.
Chairman iCIO Community Agus Wicaksono mengatakan menjaga keamanan ekosistem digital menjadi perhatian semua pihak baik pelaku usaha juga pemerintah. Dari sisi perusahaan, asosiasi direktur teknologi seluruh Indonesia itu menilai keamanan siber masih menjadi barang mewah.
Meskipun, sebenarnya usaha yang telah dirintis selama 20 tahun bisa hilang dalam 20 menit akibat serangan siber. Dengan demikian, sebenarnya kerugian akibat serangan siber lebih besar daripada ongkos proteksinya.
BSSN diharapkan mampu melakukan sosialisasi agar perusahaan menjadikan keamanan siber sebagai pos utama alokasi belanja teknologi informasi. Selain itu, BSSN diharapkan bisa menerbitkan aturan yang memadai.
"Dalam kaitan dengan bisnis, BSSN bisa berperan menyosialisasikan ini,dan juga memastikan kita--negara atau pemerintah punya aturan yang memadai untuk menjaga digital trust" ujarnya saat dihubungi Bisnis, Selasa (6/2/2018).
Berdasarkan data AT Kearney, rata-rata negara di Asia Tenggara menghabiskan 0,07% dari produk domestik bruto (PDB) untuk keamanan siber. Angka ini lebih rendah dari rata-rata secara global dengan porsi 0,13% dari PDB.
Indonesia berada paling belakang dengan realisasi investasi keamanan siber dengan porsi 0,02% dari PDB. Angkanya lebih rendah dibanding China sebesar 0,03%, Filipina dan Vietnam sebesar 0,04%, Thailand sebesar 0,05% dan Malaysia 0,08%.
Sementara itu, dalam kurun waktu 7 tahun ke depan, untuk bisa bertahan, anggaran belanja khusus keamanan siber ditargetkan menyentuh angka US$24 miliar atau US$62 miliar bila mengikuti praktik terbaik dari negara-negara maju.
Tugas lain yang diharapkan bisa dijalankan BSSN yakni bisa mengoordinasikan tindakan cepat ketika kegiatan bisnis terganggu serangan siber.
"BSSN hadir dan terdepan mengoordinasikan tindakan cepat tatkala simpul-simpul bisnis terkendala soal keamanan siber yang bisa meluas dan mengganggu ekonomi nasional."