Bisnis.com, JAKARTA—Situs media juga berpotensi diretas, kendati kasusnya relatif jarang dibandingkan dengan kasus peretasan situs pemerintah.
Pratama Persadha, Chairman, Communication and Information System Security Research Center (CISSReC), mengatakan resiko media—terutama media arus utama—untuk diserang tetap sama dengan situs pemerintah.
“Yang membedakan rata-rata situs milik instansi pemerintah sering kali kurang dijaga,” ujarnya hari ini Jumat (9/2/2018).
Pratama juga mengatakan tim IT media besar biasanya memang melakukan pengawasan, tapi kelemahan akan tetap ada.
Tim IT harus melakukan checking setiap hari. “Hari ini aman belum tentu besok aman,” tuturnya.
Pratama--mengutip Edward Snowden—membeberkan pada 2015 ada trend media menjadi sasaran peretasan baik oleh state maupun non-state. Hal ini dikarenakan media arus utama dianggap punya legitimasi mengeluarkan berita yang berpengaruh.
Lebih lanjut ia mencontohkan konflik Saudi dengan Qatar. Saudi pertama kali mengeluarkan sanksi dan ancaman embargo untuk Qatar dengan alasan pemberitaan Qatar News Agency (QNA) yang dinilai Saudi sebagai bentuk keberpihakan Qatar pada blok Iran.
Pihak QNA dan pemerintah Qatar menjelaskan bahwa tidak pernah ada berita yg dimaksud dan itu adalah hasil peretasan.
“Itu menjadi bukti bahwa media juga menjadi salah satu objek dari peretasan. Apalagi dengan era digital, hoaks saja tidak cukup,” ujar Pratama.
Ia menilai keonaran dan instabilitas bisa lahir dari berita yang tidak diproduksi namun muncul di situs (berita) dan juga di media sosial.
Karena itu, Pratama menghimbau agar setiap personil media yang mempunyai akses tinggi ke sistem hatus dipastikan aman dan mengganti passwordnya secara berkalan.
Sebab, biasanya yang pertama kali diincar peretas adalah personil yang mempunyai akses lebih dalam ke sistem untuk membuat kerusakan lebih besar.