Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah operator penyedian internet masih akan menggenjot ekspansi jaringan lokal nirkabel atau Wireless Fidelity (WiFi), seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan intenet dan penetrasi ponsel pintar.
Direktur Utama PT Supra Prima Nusantara (Biznet), Adi Kusma mengatakan setiap tahunnya Biznet menambah 2.000 – 3.000 titik WiFi, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan internet dan perubahan gaya hidup.
Dia mencotohkan, setiap pengunjung yang datang ke restoran atau tempat makan, cenderung menanyakan password WiFi untuk berinternet, selain menu makanan.
Adapun titik yang disasar oleh Biznet dalam menggelar WiFi antara lain, sekolah, pusat perbelanjaan dan beberapa tempat berkumpul di daerah-daerah.
“Orang sekarang kalau masuk restoran kan bukan menu dahulu yang ditanya, tetapi password WiFi,” kata Adi kepada Bisnis.com, beberapa waktu lalu.
Adi menambahkan hingga saat ini perseroan telah memiliki sekitar 7.000-8.000 site yang tersebar di seluruh jaringan Biznet.
Adi mengatakan saat ini perseroan menggratiskan WiFi untuk publik, sehingga masyarakat dapat memanfaatkan WiFi Biznet dengan kecepatan internet hingga 5 Mbps.
Adapun bagi anggota yang terdaftar di Biznet, bisa memanfaatkan internet dengan kecepatan hingga 10 Mbps dan bagi pelanggan Biznet mendapatkan kesempatan untuk menggunakan WiFi hingga kecepatan 100 Mbps.
Senada, Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia (Moratelindo) Galumbang Menak mengatakan perseroan melalui Oxygen.id, juga terus membangun WiFi disejumlah titik pada tahun ini.
Rampungnya pembangunan Palapa Ring Timur, sambungnya, turut mendorong penetrasi bisnis WiFi perseroan. Sekurangnya, terdapat 200 an titik yang akan dibangun WiFi hingga akhir 2019.
“Jumlah tiap tahun pasti bertambah bahkan sekarang sampai di Papua, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku Selatan. Bukan berarti yang di Jakarta pembangunannya berhenti,” kata Galumbang.
Galumbang menambahkan meski mendorong pembangunan WiFi namun tujuan utama bisnis ini bukan sebagai arus pendapatan utama, melain untuk membangun citra Oxygen.id, melalui layanan WiFi.
“Kami melihat banyak WiFi tersedia namun kurang bagus, bahkan beberapa hanya sekedar ada,” kata Galumbang.
Sementara itu, Vice President Corporate Communication PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. (Persero) Arif Prabowo mengatakan perseroan terus mendorong bisnis WiFi seiring dengan banyaknya area-area publik di berbagi kota besar maupun di daerah.
Tidak hanya itu, lanjutnya, tumbuhnya pengguna ponsel pintar yang memerlukan akses internet cepat dengan tarif relatif terjangkau juga menjadi pasar wifi.id, layanan WiFi milk Telkom, saat ini.
Dia mengatakan hingga September 2019, wifi.id sudah terdapat di sekitar 385.000 titik di seluruh Indonesia bahkan hingga ke perbatasan negara ataupun daerah-daerah terpencil.
“Sebagai contoh, masyarakat di Pulau Sebatik yang berbatasan dengan Malaysia sudah sejak lama bisa menikmati layanan wifi.id,” kata Arif.
Arif menambahkan untuk mendorong penetrasi, Telkom juga memberi kesempatan kepada masyarakat yang ingin membuka tempat khusus untuk menggunakan akses hotspot wifi.id melalui wifi.id station.
Analis Kresna Sekuritas, Etta Rusdiana Putra melihat bahwa bisnis WiFi saat ini tidak terlalu berkembang sebab, dari sisi pengguna, proses masuk ke akses WiFi tidak praktis, harus mendaftar dan mencantumkan password terlebih dahulu.
Dia menilai jaringan 4G yang saat ini makin banyak dan kemampuan internet rumah juga berdampak pada lambatnya penetrasi WiFi.. Kemudian, dari sisi jangkauan, WiFi sangat terbatas hanya berkisar100m - 300m.
“WiFi juga kurang cocok untuk ruang terbuka karena jangkauannya terbatas, kapasitas router WiFi berbeda-beda dan orang cenderung berpindah-pindah ketika di luar ruangan,” kata Etta.
Etta menambahkan karakteristik WiFi yang kurang praktis tersebut membuat bisnis ini hanya cocok sebagai bisnis pendukung, karena sulit dikembangkan.
Etta juga berpandangan bahwa ada kemungkinan ke depan, kecepatan WiFi akan turun drastis seiring dengan hadirnya teknologi LAA yang menggunakan frekuensi 5 GHz sama seperti WiFi.
Pemanfaatan frekuensi 5GHz akan mendorong WiFi pindah ke 2,4GHz. Saat kedua frekuensi tersebut dihuni oleh dua kepentingan,Etta berpendapat hal tersebut akan menjadi polemik.
“Makanya sampai sekarang masih jalan di tempat bisnis WiFi. Individu pasti protes, karena ini kan frekuensi bebas untuk publik,” kata Etta.
Sementara mengenai peluang mendulang untung bisnis WiFi dari perbatasan dengan link satelit, kata Etta, hal tersebut sulit dilakukan. Dia mengatakan biaya satelit terlalu mahal untuk internet.
Terlebih daerah perbatasan sedikit jumlah penduduknya, maka margin yang dihasilkan akan tinggi. Dia berpendapat satelit untuk internet sementara masih cocok untuk B2B, bukan B2C.
Senada, Ketua Program Studi Magister Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) Ian Yosef M. Edward menilai mahalnya harga kuota WiFi di daerah perbatasan disebabkan oleh besarnya belanja modal dan biaya operasional yang harus dikeluarkan oleh penyedia WiFi berbayar.
Dia mengatakan proses pengangkutan perangkat ke daerah perbatasan membutuhkan biaya besar karena harus menggunakan jalur udara, begitu pun untuk perawatan dan operasionalnya.
“Daerahnya sulit dijangkau dan untuk daya listrik harus menggunakan genset atau solar cell,” kata Ian.
Dia mengatakan untuk menekan biaya harga kuaot WiFi diperbatasan, perlu kehadiran sumber daya listrik yang murah. Kemudian warga setempat juga harus dilatih untuk operasional agar tidak perlu mengirimkan tenaga kerja dari daerah lain.
“Supaya lebih murah maka harus ada management yang baik, serta dibangun ekosistemnya, karena semakin besar jumlah penggunaa, harga per GB makin turun,” kata Ian.