Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) memperkirakan sektor E-Commerce bakal terdampak setelah adanya kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% tahun depan.
Sekjen idEA Budi Primawan mengatakan bahwa kenaikan PPN 12% membuat e-commerce bergejolak. Namun hal tersebut terjadi secara perlahan.
Sebab, pemerintah baru mengeluarkan beberapa stimulus, yang membuat beberapa produk yang tidak terkena PPN. Selain itu, konsumen juga masih melihat tren yang terjadi pasca naiknya PPN 12%
“Kemarin juga sudah diskusi dengan Pak Asdep Ekonomi Digital di Kemenko Ekonomi. Mungkin paling setelah 3 bulan baru ketahuan (dampaknya),” kata Budi dalam diskusi Indonesia Digital Economy Outlook 2025, Kamis (19/12/2024).
Budi mengatakan, dampak ini tentunya tidak hanya dirasakan pada sektor E-Commerce. Namun, dampak ini bakal dirasakan pada semua sektor.
Apalagi, kata Budi barang yang terkena pajak bukan hanya barang yang dijual di E-Commerce. Tetapi, barang-barang lain juga terkena yang membuat semuanya akan meningkat.
“Sepertinya perlu kita lihat lagi dalam waktu mungkin, ya tadi kuartal 1, dampaknya secara real seperti apa,” ucapnya.
Di sisi lain, Asisten Deputi Pembiayaan dan Investasi Kementerian UMKM, Ali Manshur mengatakan pihaknya memberikan insentif kepada para UMKM dengan memperpanjang masa berlaku Pajak Penghasilan (PPh) final 0,5%
Perpanjangan masa waktu PPh 0,5% berlaku untuk UMKM dengan omzet di atas Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar per tahun sampai akhir 2025.
“Saya hanya mengulangi disampaikan waktu pengumuman itu Pak Menteri kami, Pak Maman juga hadir kan bagaimana kita juga ada insentif juga yang untuk UMKM artinya PPh final 0,5% itu diperpanjang satu tahun,” ucap Ali.
Berdasarkan pemberitaan Bisnis sebelumnya, pemerintah memutuskan untuk mengenakan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN sebesar 12% untuk barang-barang mewah hingga biaya sekolah standar internasional.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan hal tersebut sesuai dengan masukan dari berbagai pihak dan mengacu azas gotong royong, yang mana masyarakat yang mampu membantu dan membayar, sementara yang tidak mampu dibantu dan dilindungi.
Maka harga barang maupun jasa yang tergolong premium yang sebelumnya tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), mulai 2025 akan terkena tarif PPN 12%.
“Seperti RS kelas VIP dan pendidikan yang standar internasioanl yang berbayar mahal,” ujarnya dalam konferensi pers, Senin (16/12/2024).