Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka mengusulkan kepada Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti, untuk memberikan pelajaran coding dari tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah pertama (SD dan SMP).
Hal itu disampaik saat memberikan arahan pada acara Rapat Koordinasi Evaluasi Kebijakan Pendidikan Dasar dan Menengah, di Hotel Grand Sheraton, Jakarta, Senin (11/11/2024).
Keinginan Wakil Presiden tersebut merupakan kebijakan strategis yang dapat mempercepat visi Indonesia Emas 2045, yaitu menjadikan Indonesia sebagai negara maju dengan ekonomi inklusif dan berdaya saing global.
Menurut ComputerScience.org, coding adalah proses membuat serangkaian perintah guna memberi tahu sebuah mesin untuk bekerja dan menyelesaikan tugasnya. Proses ini dilakukan dengan memakai komputer dan menggunakan bahasa pemrograman.
Lalu, bagaimana kemampuan ini bisa menjadi fondasi untuk meningkatkan daya saing bangsa di tingkat global pada 2045? Bisakah pelajaran coding ini bisa meng-coding anak-anak Indonesia menjadi insan unggul dan kompetitif di masa depan? Mari kita bahas dari sudut pandang manajemen stratejik.
Laporan Future of Jobs Report 2023 yang dikeluarkan World Economic Forum (WEF) menyebutkan 69 juta pekerjaan baru akan tercipta dalam 5 tahun ke depan. Namun, 83 juta pekerjaan akan hilang dan digantikan oleh automasi.
Sebelumnya, dalam laporan yang berjudul Future of Work, Institute for The Future dan Dell Technologies (2019) juga menyampaikan temuan serupa tentang perubahan dunia karena teknologi, di mana diperkirakan mayoritas dari anak-anak yang saat ini masih di bangku pendidikan akan melakukan pekerjaan yang belum ada sama sekali saat ini.
Diprediksi sekitar 85% dari pekerjaan yang akan ada pada 2030 belum ditemukan sama sekali saat ini.
Martin Reeves dan rekan (2022), dalam buku Dynamic Business Strategy, menyampaikan konsep adaptive advantage dalam berkompetisi di lingkungan yang fast-changing dan uncertain context.
Meningkatnya turbulensi dalam lingkungan bisnis menuntut perubahan mendasar dalam pendekatan strategi. Asumsi klasik bahwa persaingan bersifat stabil dan dapat diprediksi tak lagi relevan.
Strategi tradisional yang bergantung pada perencanaan jangka panjang dan prediksi akurat menjadi tak efektif dalam menghadapi perubahan yang cepat dan sulit diperkirakan.
Sebagai gantinya, kita harus mengadopsi pendekatan yang lebih ready (adaptif), responsive (lincah), dan resilience (tangguh). Pengaplikasian konsep adaptive advantage ini membutuhkan perubahaan cara kerja dan juga cara berpikir tentang strategi.
Dalam manajemen stratejik, pengajaran coding sejak SD dapat dilihat sebagai perubahan cara berpikir dalam merancang strategi proaktif untuk merespons tren global yang dipengaruhi oleh digitalisasi dan automasi.
Kajian dari Gallup dan Google (2020) memaparkan bahwa dunia akan semakin digital dan hampir semua sektor akan membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang teknologi, terutama teknologi informasi. Akibatnya, digital literacy atau literasi digital menjadi keniscayaan bagi pekerja di masa depan.
Upaya untuk membangun daya saing bangsa di dunia digital ini juga sejalan dengan teori Market-Based View yang digagas Mason and Bain (1950) yang kemudian dikembangkan oleh Michael Porter (1980) dalam bukunya Competitive Advantage.
Sedangkan dalam konteks Indonesia Emas 2045, pengajaran coding dapat dianggap sebagai medium strategis untuk meningkatkan daya saing global Indonesia, memperkuat ekosistem digital, dan menciptakan tenaga kerja yang mampu berinovasi.
Pekerja (dan pemikir) disiapkan sesuai dengan peluang di industri teknologi dan permintaan pasar global di masa depan. Coding memungkinkan seseorang untuk memahami cara kerja teknologi seperti kecerdasan buatan (AI), big data, dan Internet of Things (IoT), yang akan menjadi pendorong utama ekonomi masa depan.
Mengembangkan kemampuan coding di kalangan anak-anak sejak dini dapat menciptakan talenta teknologi lokal yang kompetitif, sehingga mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja asing dan juga dapat memosisikan Indonesia sebagai negara dengan populasi muda yang mahir teknologi sehingga dapat menarik investasi asing di sektor teknologi.
Dalam penelitiannya bersama UNESCO, Hugo G. Lapierre (2022) menyampaikan bahwa beberapa negara sudah mengadopsi kegiatan pemrograman seperti coding ke dalam kurikulum sekolah. Pada 2012, Pemerintah Estonia mengeluarkan kebijakan untuk memulai pengajaran bagaimana membuat code pada anak sekolah usia 7—19 tahun.
Pada 2013, Pemerintah Inggris menerapkan kurikulum nasional untuk penggunaan teknologi komputer dan internet. Pemerintah Korea Selatan juga menerapkan program pendidikan ilmu komputer sejak 2017.
Baru-baru ini, Pemerintah Ontario, Kanada pun mengumumkan perubahan kurikulum sekolah dasar dan menengah dengan memasukkan mata ajar wajib terkait coding. Namun, pengajaran coding bukanlah semata-mata tentang kemampuan teknis untuk memakai gawai, perangkat lunak atau aplikasi.
Pemerintah Estonia tidak mewajibkan pengajaran coding untuk sekadar menciptakan para pembuat aplikasi di masa depan, tetapi menyiapkan anak-anak untuk menjadi seseorang yang memiliki hubungan yang sehat dengan teknologi, computer, dan internet.
Pemerintah Inggris memberikan bekal coding bagi para siswa untuk membangun kemampuan berpikir komputasional dan kreativitas untuk mengerti dan mengubah dunia. Sedangkan Pemerintah Korea Selatan merancang pendidikan ilmu komputer untuk membangun kemampuan problem-solving dan berkolaborasi.
Sejalan dengan negara-negara sebelumnya, Pemerintah Ontario juga mengadopsi perubahan kurikulum untuk memastikan siswa memiliki keterampilan hidup dan kerja yang penting.
Dalam buku “Future Skills”, Bernard Marr (2022) mengingatkan bahwa kesuksesan di dunia digital bukanlah semata-mata tentang memiliki pengetahuan teknis seperti coding –melainkan tentang memahami teknologi yang mendasari revolusi industri keempat dan dampak yang akan ditimbulkan oleh teknologi ini terhadap masa depan pekerjaan.
Dari 20 kompetensi yang dibutuhkan di masa depan, hanya tiga yang terkait hal teknis, yaitu literasi digital, literasi data, dan keahlian teknis. Sedangkan, tujuh belas lainnya adalah tentang memahami kekuatan relatif dari manusia dan teknologi, dan bagaimana kita dapat memanfaatkan kekuatan tersebut.
Artinya, penguasaan kompetensi-kompetensi yang terkait teknologi tersebut tak bisa berdiri sendiri. Marr mengatakan justru, “The future of work will be more human, fulfilling, and collaborative.” Aspek kemanusiaan lebih kental di masa depan. Itulah sebabnya kompetensi-kompetensi seperti berpikir kritis, kreativitas, kolaborasi, dan etik, tak bisa ditinggalkan begitu saja.
Pengajaran coding haruslah searah dan mendukung pengembangan soft skills yang memungkinkan individu untuk terus menyesuaikan diri dengan perubahan teknologi yang cepat.
Dengan strategi yang tepat, coding dapat menjadi katalisator untuk mempercepat transformasi ekonomi Indonesia menuju visi besar Indonesia Emas 2045, yaitu strategi yang mengedepankan kompetensi teknologi namun tak meninggalkan pengembangan soft skills.
Hal ini selaras dengan Mary Jo Hatch (2013) yang mengatakan dalam buku Organization Theory bahwa teknologi merupakan medium untuk mengembangkan pola pikir kolaboratif dan inovatif. Namun, efektivitas strategi tersebut, selain membutuhkan penguatan literasi dasar dan pengajaran kemampuan teknis coding, juga membutuhkan kolaborasi antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat.
Dunia usaha memiliki peran penting, baik melalui investasi infrastruktur, pelatihan guru, maupun dukungan terhadap pengembangan ekosistem teknologi.