Bisnis.com, JAKARTA — Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) menilai penerapan regulasi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) oleh pemerintah Indonesia merupakan langkah penting, yang perlu didorong secara paksa berbasis pada kebutuhan nyata.
Adapun saat ini pemerintah tengah menyiapkan peta jalan AI sebagai langkah lanjut atas surat edaran AI yang diterbitkan tahun lalu.
Ketua Umum MASTEL Sarwoto Atmosutarno menekankan peningkatan level regulasi, dari sekadar surat edaran menjadi peraturan yang bersifat mengikat (enforcement), harus mempertimbangkan urgensi serta dampak dari penggunaan teknologi AI.
Menurutnya untuk menuju regulasi yang memiliki daya paksa, diperlukan kasus konkret yang menunjukkan dampak negatif dari AI, seperti konten yang memicu perpecahan sosial.
“Harus ada case yang mendesak untuk di-enforce gitu. Misalnya soal, apa namanya, berita yang menimbulkan perpecahan, ini langsung ke konten gitu ya, disebabkan oleh AI,” kata Sarwoto saat ditemui usai Symposium & MoU Signing bertajuk “Building a Resilient Digital Indonesia: Integrating AI, Cybersecurity, and Privacy” yang digelar oleh MASTEL bersama Pemerintah Negara Bagian Victoria, Australia di Jakarta pada Kamis (26/6/2025).
Mastel juga menyoroti cepatnya perkembangan teknologi AI yang kini digunakan mulai dari jaringan (backroom) hingga ke layanan yang berhadapan langsung dengan publik (frontroom), seperti pemasaran digital dan manajemen media.
Sarwoto mengungkapkan kekagumannya terhadap kemampuan generasi muda Indonesia dalam mengembangkan teknologi ini.
Dalam konteks kebijakan kekayaan intelektual (copyright), Sarwoto mengusulkan agar Indonesia mengadopsi pendekatan kerja sama dengan negara-negara yang sudah lebih maju dalam pengaturan hak cipta AI, seperti Jepang.
Menurutnya, banyak institusi lokal yang belum siap dalam memahami kompleksitas teknologi ini.
Lebih lanjut, MASTEL menekankan pentingnya kolaborasi lintas negara dan lintas budaya dalam membentuk ekosistem regulasi AI yang adaptif. Kegiatan simposium yang melibatkan pemerintah Victoria, Australia, disebut sebagai langkah awal dalam membangun pemahaman bersama.
“Sebenarnya kalau secara institusi ini, kesempatan yang bagus karena pemerintah Australia, khususnya Victoria, mereka kan sudah lagi membangun kekuatan digitalisasinya itu untuk bisa ditularkan yang lain melalui digital innovation. Ini penting karena khusus yang sesuai topik AI, itu kan larinya ke ketahanan nasional lah,” katanya.
Sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menyatakan roadmap AI nasional ditargetkan rampung pada Juni 2025. Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid mengungkapkan bahwa aturan pertama dalam roadmap ini akan difokuskan pada aspek etika penggunaan AI.
“Jadi kemungkinan besar, ini sedikit bocoran, bahwa aturan pertama terkait artificial intelligence akan menyangkut dengan etika AI itu sendiri,” kata Meutya beberapa waktu lalu.
Isu konten berbasis AI yang menyesatkan, seperti gambar penambangan buatan AI di Raja Ampat, juga menjadi perhatian pemerintah. Meutya menegaskan bahwa labeling konten AI menjadi salah satu opsi untuk menjaga etika dan mencegah penyebaran hoaks.
“Itu yang tadi namanya etika, jadi di beberapa negara yang kami lihat memang harus ada labeling AI. Kalau orang memang lihatnya [AI] untuk menyebarkan hoaks maka dia tidak akan menaruh etika,” ujar Meutya.