Bisnis.com, JAKARTA— Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta agar konten yang terdapat di platform digital diatur sebagaimana yang terjadi pada siaran terestrial.
Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja Penyiaran dengan Kamar Dagang dan Industri (KADIN), Sahabat Peradaban Bangsa, dan Asosiasi Konten Kreator Seluruh Indonesia (AKKSI), Anggota Komisi I DPR RI Nico Siahaan mengungkapkan perlunya membuat aturan terhadap konten digital.
“Kalau konten terestrial sudah jelas ada aturan, tapi konten digital belum. Bagaimana pengaturannya? Ini tetap harus kita atur. Kita atur,“ kata Nico ditemui usai RDPU di kompleks parlemen Jakarta Senin (14/7/2025).
Nico menekankan pentingnya percepatan revisi UU Penyiaran agar semua pihak memiliki kesadaran yang sama bahwa konten perlu diatur secara jelas dan tegas.
Dia juga menekankan definisi “siaran” tidak bisa begitu saja diubah. Apabila seseorang membantu dalam proses penyebarluasan konten, maka bisa tetap dikenai ketentuan dalam undang-undang tersebut, meskipun mengklaim bukan sebagai pihak yang menyiarkan.
Menurutnya, kemungkinan besar bagian “ketentuan umum” akan banyak mengalami perubahan. Terkait opsi pemisahan antara penyiaran konvensional dan media digital dalam bentuk UU yang berbeda, hal itu memungkinkan.
Namun, jika ingin dipisahkan, maka perlu disusun sebagai undang-undang baru yang terpisah.
“Kalau memisahkan ya bisa saja. Artinya kita bisa pisahkan dengan judul yang lain. UU yang lain nanti kita bikin,” katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPR RI Dave Akbarshah Fikarno Laksono mengatakan revisi UU Penyiaran sudah dimulai sejak 2012.
Namun sampai dengan hari ini belum juga kunjung selesai. Pihaknya pun menargetkan supaya revisi tersebut rampung pada periode 2024–2029.
“Kami memang menargetkan di periode ini akan segera rampung,” katanya.
Namun demikian, Dave mengatakan pihaknya belum membuat rangkaian jadwal yang ditetapkan untuk proses penyusunan, pembahasan, hingga pengesahan revisi undang-undang tersebut.
Dave menjelaskan draf RUU Penyiaran belum dibagikan ke publik karena masih mengalami sejumlah perubahan. Dia menyebut, draf tersebut telah berubah tiga kali, salah satunya karena adanya aturan induk yang tertuang dalam Undang-Undang Cipta Kerja.
Beberapa ketentuan yang sebelumnya dimuat dalam RUU Penyiaran, seperti soal multiflexing, akhirnya diatur dalam UU Cipta Kerja.
“Masih ada substansi yang juga tak kalah pentingnya yang kita putuskan di RUU Penyiaran ini,” katanya.