Biaya Seller Rp1.250 Akibat Tekanan Operasional Tiktok Shop hingga Shopee

Aziz Rahardyan
Senin, 11 Agustus 2025 | 22:33 WIB
Ilustrasi konsumen yang berbelanja secara daring melalui e-commerce di ponsel mereka/Freepik
Ilustrasi konsumen yang berbelanja secara daring melalui e-commerce di ponsel mereka/Freepik
Bagikan
Ringkasan Berita
  • Platform e-commerce seperti Shopee, Tokopedia, dan TikTok Shop mulai menerapkan biaya pemrosesan order Rp1.250 per transaksi untuk menjaga keberlanjutan bisnis di tengah tekanan operasional.
  • Kebijakan ini diambil sebagai respons terhadap meningkatnya biaya logistik, persaingan ketat, dan berkurangnya pendanaan eksternal, serta bertujuan untuk mendukung operasional logistik dan efisiensi distribusi.
  • Langkah ini diperkirakan akan mendorong penjual untuk menaikkan harga jual barang, sementara tantangan regulasi dan pemetaan pedagang dengan omzet tertentu menjadi perhatian utama bagi platform digital.

* Ringkasan ini dibantu dengan menggunakan AI

Bisnis.com, JAKARTA — Di tengah meningkatnya tekanan operasional, sejumlah platform e-commerce besar seperti Shopee, Tokopedia, dan TikTok Shop memberlakukan biaya pemrosesan order sebesar Rp1.250 per transaksi. 

Kebijakan ini disebut menjadi langkah terbaru untuk menjaga keberlanjutan bisnis di tengah persaingan ketat, naiknya biaya logistik, regulasi baru dan keringnya pendanaan eksternal

Shopee lebih dahulu menerapkan kebijakan ini sejak 20 Juli 2025, diikuti Tokopedia dan TikTok Shop pada 11 Agustus 2025. Biaya ini dikenakan pada setiap transaksi selesai, tak peduli jumlah produk dalam satu order. 

Meski terlihat kecil, langkah ini menambah beban bagi pelaku UMKM yang selama ini mengandalkan platform digital sebagai kanal utama penjualan.

Sekretaris Jenderal Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Budi Primawan, menjelaskan bahwa kebijakan ini adalah bentuk respons atas dinamika yang terjadi di sektor digital.

“Industri e-commerce menghadapi tekanan biaya logistik, persaingan ketat, dan keterbatasan pendanaan eksternal. Setiap platform memiliki pertimbangan bisnis masing-masing,” ujar Budi, dikutip Senin (11/8/2025).

Budi menambahkan, pendanaan global di sektor teknologi yang menurun membuat platform perlu mencari sumber pendapatan lain agar bisnis tetap berjalan dan layanan tetap optimal. 

Salah satu fokus penggunaan biaya ini adalah untuk mendukung operasional logistik mulai dari pengiriman, keterjangkauan wilayah, hingga efisiensi distribusi. Hal ini demi memastikan layanan ke pembeli lancar dan pengiriman semakin cepat.

“Kami memahami bahwa pelaku UMKM sensitif terhadap penambahan biaya, namun besaran biaya pemrosesan ini relatif kecil dan sebanding dengan fasilitas yang diperoleh, seperti akses pasar yang lebih luas, dukungan promosi, dan layanan logistik."

Menurutnya, yang terpenting, platform tetap transparan, memberikan edukasi memadai kepada penjual, dan menjaga agar UMKM dapat terus tumbuh serta bersaing sehat di ekosistem digital.

Sebelumnya, Kementerian Perdagangan (Kemendag) melalui Dirjen Perdagangan Dalam Negeri (PDN) Kemendag Iqbal Shoffan Shofwan ikut buka suara. 

“Pengelola platform e-commerce memiliki kewenangan untuk menarik bayaran atau fee kepada penjual yang berjualan di platform tersebut,” katanya.

Sejalan dengan idEA, Iqbal juga mengingatkan platform e-commerce untuk memberi perhatian khusus kepada penjual yang merupakan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).

Sementara itu, Direktur Ekonomi Digital Celios, Nailul Huda, menilai langkah ini akan ditempuh oleh seluruh platform sebagai strategi untuk mendorong profitabilitas yang lebih cepat. 

“Pola bisnis sekarang tidak hanya mengandalkan kuantitas atau value perusahaan, namun sudah lebih ke keuntungan per layanan. Akan lebih banyak biaya-biaya yang ditanggung oleh seller ke depan. Bisa juga biaya tambahan bagi buyer juga akan ditambah,” ujar Nailul.

Menurut Nailul, biaya-biaya ini akan mendorong seller untuk meningkatkan harga jual barang mereka. Seller pasti akan membebankan kepada konsumen dan dampaknya terhadap harga jual akan terbatas. 

"Ketika harga barang naik, permintaan akan turun, tapi saya rasa penurunannya tidak drastis,” tambahnya. 

Dia juga memperkirakan pola diskon toko akan berubah, lebih mengarah pada pembelian dalam jumlah lebih dari satu agar konsumen bisa menikmati potongan harga.

Nailul justru menyoroti tantangan regulasi yang dialami oleh platform digital, seperti kewajiban pemungutan pajak  sebesar 0,5% dari penjualan UMKM dengan omzet Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar per tahun. 

“Bagi lokapasar, tentu tantangan terberat adalah pemetaan pedagang yang memiliki omzet lebih dari Rp500 juta karena mekanismenya hanya berdasarkan surat pernyataan. Artinya, ini sifatnya self-assessment dan sangat tergantung dari kesadaran pelaku usaha,” ungkap Nailul.

Dia juga menambahkan bahwa sistem ini berisiko menimbulkan celah penghindaran pajak jika tidak dibarengi integrasi data yang kuat antar platform.

Nailul menilai harus ada sinkronisasi data dari satu platform dengan platform lainnya, misalnya dengan menggunakan NIB atau NIK, agar tidak terjadi loophole dan kesenjangan antara penjual daring dan luring.

Berdasarkan perkiraan Celios, dengan berbagai tantangan ini, e-commerce akan mengalami pertumbuhan tipis selama 2025. “Realistisnya, e-commerce bisa tumbuh 2% saja," ujar Nailul. 

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami