Bisnis.com, JAKARTA - Rabu, 14 Januari 2014 menjadi kenangan kelam yang sulit dihapus oleh masyarakat Manado. Matahari hampir gagah berdiri, mana kala aktivitas warga berjalan seperti biasa. Sekejap, semuanya berubah.
Pos Komando Tanggap Darurat Pemerintah Kota Manado mencatat, banjir bandang kiriman daerah aliran sungai atau DAS Tondano setidaknya merenggut 18 korban jiwa. Tidak hanya itu, secara keseluruhan ada 85.355 jiwa yang terkena dampak dari bencana ini.
Manado, yang letaknya dilewati empat sungai berukuran sedang, melintas menuju laut. Luapan sungai, yang acap kali menyebabkan banjir. Contohnya saja, pada Desember 2014, maupun Januari tahun lalu, banjir setinggi 1–3 meter hadir di beberapa titik di Ibu Kota Sulawesi Utara ini.
Banjir tidak seperti pencuri di malam hari, dia memilih tidak mengetuk pintu atau sekadar mengirim pesan singkat jika ingin berkunjung. Seperti biasa, bencana datang dengan memberikan kerugian materiil maupun psikologis.
Walaupun begitu, deteksi dini tetap dapat diupayakan. Membaca tanda-tanda kehadiran luapan air akibat intensitas tinggi hujan, maupun banjir bandang, ditempatkanlah penjaga pos pemantauan.
Di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU – Pera) setidaknya memiliki tiga jenis tim penjaga pos pemantauan, a.l penjaga pos hujan, penjaga pos klimatologi, maupun penjaga pos air sungai.
Penjaga pos pemantauan yang mengandalkan sumber daya manusia, disokong dengan beberapa alat pembantu terkadang belum dapat bekerja maksimal. Apalagi jika SDM-nya terbatas, itu masalah lain.
Tenaga manusia akan terbantu dengan hadirnya teknologi sederhana, yang mampu memberikan hasil realtime mengenai kondisi pemantauan. Hal itu, yang diinisiasi oleh Fujitsu Limited dan PT Fujitsu Indonesia, dengan melakukan uji coba implementasi teknologi augemted reality (AR) di salah satu aliran Sungai Tikala, Kota Manado.
Proyek uji coba yang digarap bersama Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, serta Kementerian PU PERA Balai Wilayah Sungai Sulawesi I dimulai 22 Februari –11 Maret 2016.
Melalui sistem ini, pemantau lapangan memanfaatkan aplikasi pengukuran muka air berbasis smartphone untuk mengukur tinggi muka air, mengambil gambar, serta melengkapi informasi kondisi di sekitar lokasi. Data kemudian dikumpulkan dan dikonsolidasikan di datacenter Fujitsu di Jepang, lalu diplotkan pada peta.
Sistem ini memanfaatkan produk platform AR terintegrasi milik Fujitsu, yakni Fujitsu Software Interstage AR Processing Server, untuk menjalankan aplikasi pada smartphone. Pemantau lapangan menggunakan kamera yang ada di gadget untuk memindai dan membaca alat penanda AR yang terdapat di sebuah lokasi di daerah aliran sungai Tikala.
Aplikasi akan menampilkan sebuah mistar skala yang ditimpakan di atas gambar sungai. Dari sini, pengamat bisa mengukur tinggi muka air secara digital dengan cara menandai luasan air yang dimaksud seperti yang ditampilkan di atas layar.
Pada uji coba tersebut, alat penanda AR dipasang di satu lokasi di aliran sungai untuk melihat tingkat akurasi pengumpulan setiap informasi yang dibutuhkan untuk kalkulasi pencegahan bencana.
Kepala Unit Hidrologi Balai Wilayah Sungai Sulawesi I Refly Pasiowan mengatakan selama uji coba, pemantauan dilakukan selama tiga kali sehari, mulai pagi, siang dan sore hari. “Hasilnya memang realtime, mereka cuma memotret barcode [AR] lewat alat semacam telepon genggam.” katanya.
Dia melanjutkan jarak pemotretan AR tidak menjadi masalah, sehingga tepat untuk digunakan pada sungai yang memiliki diameter puluhan meter. Uji coba yang berlangsung selama 18 hari dan pertama dilakukan di Manado ini, Refly harapkan cepat diterapkan diimplementasikan.
Balai Wilayah Sungai Sulawesi I memiliki total 96 pemantau pos, yang terbagi atas 34 pemantau pos hujan, 12 pemantau pos klimatologi dan 50 pemantau pos air sungai. “Implementasi pengawasan ini, pantasnya diletakkan di aliran sungai bagian hulu. Tentunya, deteksi dini kemungkinan bencana lebih dapat dilakukan.”
Disebutkan dari situs fujitsu.com, tujuan dari uji coba ini, adalah mencari kemungkinan pengumpulan informasi akurat sebagai bagian mitigasi bencana, melihat sejauh mana BWS Sulawesi I cepat merekam berbagai perubahan air sungai dengan sistem ini sehingga efektif untuk menjadi metode pengawasan.
Bagi Meidy Maneheim, seorang petugas pemantau pos air sungai di aliran Sungai Tikala, sistem pemantauan ini mudah digunakan, dan tergolong sederhana. Maklum, selama ini hasil pemantauan pemantau pos, kebanyakan masih didata dengan manual, sehingga memerlukan waktu pencatatan.
“Terlihat sederhana memang, tinggal kami pasang AR di sebuah dinding. Sementara kami memotret di seberang sungai,” tuturnya.
Meidy salah seorang korban dari banjir bandang dua tahun lalu, dia tahu betul bagaimana rumahnya ikut hanyut. Jika saja, Meidy dan penduduk lain dapat mengetahui lebih awal kemungkinan datangnya bencana, setidaknya ada harta benda yang bisa diselamatkan. Kalau memang sistem pemantauan ini, baik dan efektif diterapkan, kenapa tidak?