Mastel Desak Operator Rekonsiliasi Soal Tarif Interkoneksi

Sholahuddin Al Ayyubi
Senin, 29 Agustus 2016 | 15:11 WIB
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA--Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) mendesak seluruh pelaku industri telekomunikasi untuk melakukan rekonsiliasi terkait polemik penurunan tarif interkoneksi sebesar 26% karena dinilai akan berdampak kepada pelanggan dan persaingan semakin tidak sehat.

Kristiono, Ketua Umum Mastel mengemukakan polemik interkoneksi tersebut seringkali terjadi pada pelaku telekomunikasi setiap tiga tahun sekali dan solusi untuk menyelesaikan polemik tersebut adalah adalah cara rekonsiliasi serta menurunkan ego sektoral setiap pelaku telekomunikasi.‎

Dia juga mendesak Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara agar menjadi penengah atas polemik penurunan biaya interkoneksi sebesar 26% yang akan diberlakukan pada 1 September 2016.

"Masalah ini kan sebenarnya mudah untuk diselesaikan, hanya tinggal masing-masing operator melakukan rekonsiliasi saja.‎ Karena polemik ini sering terjadi setiap tiga tahun sekali," tuturnya kepada Bisnis usai acara Indonesia 2016 ICT Summit di Jakarta, Senin (29/8).

Seperti diketahui, keputusan penurunan biaya interkoneksi yang telah dikeluarkan pemerintah melalui surat edaran (SE) pada 2 Agustus tersebut telah menetapkan penurunan rata-rata sebesar 26% dengan 18 skenario penggilan seluler. Tarif panggilan lokal seluler akan turun menjadi Rp204 dari Rp250.

Menanggapi hal tersebut, beberapa operator seluler menyambut positif penurunan biaya yang akan dilakukan oleh Kemenkominfo. Namun tidak demikian dengan operator Telkomsel dan Telkom yang menolak perhitungan baru sesuai SE No. 1153/M.Kominfo/PI.0204/08/2016.

Grup Telkom berpandangan penurunan tarif yang akan dilakukan Menkominfo tersebut dilakukan secara simetris, yaitu menyamaratakan operator besar dan operator kecil, bukan dihitung melalui biaya yang dikeluarkan oleh setiap operator sesuai surat Dirjen PPI No.60/Kominfo/DJPPI/PI.02.04/01/2015‎ tanggal 15 Januari 2015 tentang permintaan pendapat terhadap konsep dokumen konsultasi publik penyempurnaan regulasi dan tarif interkoneksi (whitepaper).

Kristiono juga menjelaskan penundaan penerapan penurunan tarif interkoneksi sebesar 26% masih bisa dilakukan oleh Menkominfo. Menurutnya, Kemkominfo memiliki hak prerogatif atas regulasi yang akan diterapkannya terhadap pelaku industri telekomunikasi.

"Saya rasa masih bisa ditunda jadi tidak harus pada awal September, tapi itu semua kan tergantung dari Menkominfo," katanya.

Dia juga optimistis pemerintah dapat segera menyelesaikan polemik tersebut dalam waktu dekat, jika formula untuk menampung kepentingan seluruh pelaku industri telekomunikasi sudah disepakati. Menurut Kristiono, perbedaan sikap terkait biaya interkoneksi adalah hal yang wajar, hanya tinggal mencari komposisi yang tepat agar seluruh operator tidak merasa dirugikan.

"Perbedaan itu kan hal yang wajar, harus ada resolusi dari pemerintah untuk menjembatani itu semua, karena domainnya ada di pemerintah, saya berharap pemerintah mengambil keputusan yang bijak," ujarnya.

Selain itu, Kristiono juga berpandangan dewasa ini industri telekomunikasi tengah menghadapi masa yang dinilai cukup sulit, karena dominasi industri kini mulai bergerak ke arah aplikasi dan digital. Dia berpandangan seluruh operator membutuhkan proses untuk mengatur ulang strategi, adaptasi dan transisi model bisnis agar tidak dirugikan atas munculkan tren aplikasi pada era digital.

"Industri ini memang sedang mengalami dilema, karena sekarang industri aplikasi semakin banyak. Sementara bisnis modelnya beda dengan industri telekomunikasi ini, harusnya semuanya itu diuntungkan," tukasnya.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Editor : Rustam Agus
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper