Bisnis.com, JAKARTA - Penggelaran 5G pada kuartal III/2023 berjalan lambat di tengah upaya Indonesia dalam meningkatkan kecepatan internet di mata global guna menaikkan daya saing.
Dari sisi jaringan, perangkat dan aplikasi, teknologi baru super cepat ini tidak mengalami banyak perubahan bahkan stagnan.
PT Indosat Tbk. (ISAT) mengoperasikan 90 base transceiver station (BTS) 5G pada kuartal III/2023. Jumlah BTS tersebut tidak bertambah satupun dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Sementara itu PT XL Axiata Tbk. (EXCL) belum pernah terdengar penggelaran 5G kendati perusahaan telah mengantongi surat keterangan layak operasi (SKLO) untuk 5G di pita 1800 MHz dan 2100 MHz.
Nasib berbeda dialami oleh PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel). Anak usaha PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk. telah menambah lebih dari 100 BTS 5G, yang membuat total keseluruhan BTS 5G yang mereka operasikan sebanyak 470 BTS pada kuartal III/2023.
Sejalan dengan perlambatan penggelaran 5G di Indonesia, jumlah pengapalan smartphone dengan fitur 5G ke Tanah Air juga melambat.
International Data Corporation (IDC), penyedia intelijen untuk pasar teknologi informasi, melaporkan bahwa jumlah pengiriman smartphone ke Indonesia mengalami penurunan imbas dari penggelaran infrastruktur 5G di Indonesia yang cenderung berjalan lambat dan fitur 5G yang biasa-biasa saja.
IDC melaporkan pengiriman smartphone 5G turun sebesar 4,3 persen secara tahunan. Ini merupakan kali pertama pengiriman ponsel 5G turun sejak kemunculannya pada 2020. Associate Market Analyst di IDC Indonesia Vanessa Aurelia mengatakan adopsi ponsel 5G berjalan lambat karena adanya tantangan baik dari sisi permintaan maupun pasokan.
Selain itu penurunan ponsel 5G juga disebabkan oleh konektivitas 5G yang masih terbatas.
“Karena konektivitas 5G masih terbatas pada wilayah tertentu saja, fitur 5G belum cukup memberikan daya tarik bagi calon konsumen baru,” kata Vanessa.
Sementara itu, Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB Ridwan Efendi mengatakan untuk dapat menghadirkan 5G dibutuhkan frekuensi rendah (26Ghz) untuk kapasitas.
Agar operator selular dapat menyediakan layanan 5G, Ridwan mengatakan operator harus memiliki kombinasi frekuensi tersebut. Berdasarkan referensi GSMA, minimal frekuensi untuk menghadirkan layanan 5G sebesar 80Mhz di satu band frekuensi.
Saat ini frekuensi yang tersedia berada di Indonesia berada di 700Mhz dengan lebar pita 2x45Mhz dan 26Ghz dengan lebar pita 2000Mhz. Demi kecepatan 5G optimal, menurut Ridwan idealnya lelang frekuensi 700Mhz hanya untuk satu operator saja. Sedangkan frekuensi 26Ghz dapat dibagi untuk banyak operator karena lebar pitanya yang besar. Namun frekuensi tersebut hanya untuk kapasitas saja.
“Nantinya operator yang tak menangkan lelang frekuensi 700Mhz dapat menyewa kapasitas dari pemenang tender,” kata Ridwan.
Jika pemerintah tetap ngotot menerapkan BHP frekuensi dengan metode lelang seperti yang saat ini berlaku, padahal kebutuhan frekuensi sangat besar untuk teknologi baru, Ridwan memperkirakan tak ada satu operator selular yang sanggup untuk membayarnya. Apalagi jika operator selular ingin menggembangkan teknologi 5G.
Ridwan melihat di draft PM lelang frekuensi 700Mhz dan 26Ghz adanya potensi penurunan BHP frekuensi. Dengan insentif yang diberikan pemerintah ini akan operator selular memiliki peluang meningkatkan kualitas dan cakupan jaringan yang dimilikinya.
“Beberapa negara sudah memberikan insentif pembebasan BHP frekuensi untuk kurun waktu tertentu. Insentif tersebut diberikan untuk operator yang akan menerapkan teknologi baru,” kata Ridwan.
Ridwan mencontohkan pemerintah China memberikan insentif pembebasan BHP untuk waktu 4 tahun. Pemberian insentif bertujuan agar operator memiliki kemampuan finansial untuk meningkatkan kualitas layanannya dan mampu mengadopsi teknologi telekomunikasi baru.
Dengan diberikan insentif pembebasan BHP frekuensi, operator selular nantinya memiliki keleluasaan belanja modal (Capex), untuk membangun serta meningkatkan kualitas internet di Indonesia.
Dia tak menampik bahwa insentif ini dapat diberikan untuk frekuensi yang baru. Namun jika objektif pemerintah untuk meningkatkan kualitas internet, Ridwan menyarankan insentif besar harus diberikan ke operator telekomunikasi yang ingin mengembangkan teknologi baru.
Ini disebabkan tak semua orang membutuhkan layanan 5G. Selain itu operator yang ingin mengembangkan 5G juga tidak banyak. Apa lagi ekosistem 5G di Indonesia belum terbentuk.
“Insentif BHP frekuensi harus diberikan kepada operator yang mengembangkan teknologi baru guna mendukung program pemerintah dalam meningkatkan kualitas internet. Insentif BHP frekuensi 0% selama kurun waktu tertentu akan efektif untuk mendorong operator mau mendukung program pemerintah dan membentuk ekosistem 5G di Indonesia,” kata Ridwan.
Hal serupa sempat disampaikan oleh Director & Chief Digital Transformation & Enterprise Business Officer XL Axiata Yessie D. Yosetya. Dia mengatakan dengan penundaan biaya BHP, perusahaan telekomunikasi memiliki kemampuan finansial yang lebih kuat untuk menggelar jaringan.
“Oleh karena itu, tiga tahun [BHP], gratis dulu kali pak,” pinta Yessie yang diikuti dengan gelak tawa seluruh penonton pada acara The 2nd 5G Mastel’s 5G Summit, Kamis (21/9/2023).
Yessie mengaku saat ini operator masih merasa terbebani karena harus membayar biaya untuk PNBP (penerimaan negara bukan pajak) ataupun BHP yang cukup besar.
Dengan demikian, menurut Yessie, jika memang biaya-biaya yang dibebankan pada para operator tak dijaga, hal ini akan memperlambat akselerasi 5G.
Sebelumnya, Kemenkominfo akan menangalangi atau menggratiskan biaya penerimaan negara bukan pajak (PNBP) frekuensi 5G.
Menkominfo Budi Arie Setiadi mengatakan hal itu sebagai langkah strategis agar jaringan 5G dapat dioptimalkan untuk peningkatan kecepatan internet di Indonesia yang lebih baik.
"Jadi negara investasi dahulu, tidak usah bayar sehingga bisa lebih murah operator mau melakukan investasi dalam jumlah yang besar," kata Budi, Kamis (28/09/2023).
Budi optimistis dengan kehadiran 5G, kecepatan internet Indonesia meningkat sejalan dengan perkembangan teknologi digital.
Kemenkominfo, lanjutnya, senantiasa mendorong agar kecepatan internet Indonesia menduduki peringkat 10 besar di dunia dengan jaringan 5G. Oleh karena itu, Pemerintah tetap fokus pada penyelenggaraan infrastruktur digital.
"Memang perlu investasi yang besar, dana yang besar dan perlu komitmen yang besar untuk mewujudkan infrastruktur digital," katanya.