Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menyampaikan infrastruktur backhaul atau jaringan pengalur menjadi komponen penting dalam menghadirkan layanan internet 100 Mbps seharga Rp100.000.
Backhaul adalah jaringan yang menghubungkan jaringan inti ke jaringan lokal. Backhaul dapat digunakan dalam berbagai bidang, seperti telekomunikasi, logistik, dan menara seluler
Koordinator Kebijakan Penyelenggaraan Infrastruktur Digital Komdigi, Benny Elian, menegaskan bahwa seleksi spektrum 1,4 GHz akan digunakan untuk menghadirkan layanan internet berkualitas dengan harga terjangkau.
“Kami ingin menghadirkan internet yang lebih murah bagi masyarakat, dengan tarif berkisar Rp 100.000 hingga Rp 150.000 per bulan untuk kecepatan hingga 100 Mbps,” kata Benny dalam agenda Morning Tech di Jakarta, Senin (24/2/2025).
Namun, salah satu syarat penting yang harus dipenuhi adalah keberadaan infrastruktur backhaul yang memadai.
Tanpa adanya backhaul yang kuat dan stabil, penggelaran internet akan mengalami kendala serius dalam hal kualitas dan kecepatan koneksi.
Benny menilai bagi penyelenggara layanan internet (ISP) harus memiliki infrastruktur jaringan kabel, terutama fiber optik (FO), yang menjadi basis utama dalam mendukung pergelaran internet.
Tanpa jaringan kabel yang solid, upaya untuk membangun jaringan akan menjadi sangat sulit dan mungkin tidak efisien.
“Makanya syaratnya adalah backhaul-nya. Jaringan utama itu harus udah ada dulu. Harus yang punya jaringan kabel,” ujarnya.
Diketahui, PT Solusi Sinergi Digital Tbk. (Surge/WiFi) menjadi satu-satunya perusahaan telekomunikasi yang melakukan terobosan dengan menawarkan layanan internet berkecepatan 100 Mbps seharga Rp100.000 lewat paket Starlite.
Paket tersebut diikat dengan gimik pemasaran gratis instalasi, gratis layanan 1 bulan, dan tanpa fair usage policy atau pemakaian batas wajar. Layanan tersebut dapat hadirnyam salah satunya karena dukungan teknologi fixed wireless acces (FWA) atau jaringan internet cepat nirkabel.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Bisnis, biaya menghadirkan layanan FWA tidak jauh berbeda dengan menghadirkan layanan seluler lewat base transceiver station (BTS).
Perbedaannya terletak pada spektrum yang digunakan. Layanan 4G/5G di Indonesia saat ini menggunakan pita frekuensi 1,8 GHz, 2,1 GHz, dan 2,3 GHz. Sementara itu, FWA yang dikembangkan di Indonesia, kemungkinan menggunakan pita 1,4 GHz.
Dari sisi ongkos, biaya penggelaran per titik BTS bisa mencapai Rp1,5 miliar hingga Rp4 miliar, tergantung kapasitas sistem BTS dan menara. Pengelaran di pita 1,4 GHz kemungkinan menelan biaya yang lebih rendah sedikit karena secara cakupan lebih luas. Namun, secara kapasitas berada di bawah pita 1,8 GHz.
Bisnis coba menggali informasi dan bertanya kepada Surge mengenai biaya yang dihabiskan untuk menggelar layanan internet 100 Mbps seharga Rp100.000. Hingga berita ini diturunkan, Surge tidak menjawab.
Sementara itu, Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) mengkhawatirkan konsistensi kecepatan internet dalam program internet murah 100 Mbps seharga Rp100.000. Dari sisi ongkos dan teknologi, terdapat beberapa hal yang perlu diselesaikan.
Sekjen APJII Zulfadly Syam mengatakan harga paket Rp100.000 untuk 100 Mbps hanya akan dapat tercapai dengan instalasi infrastruktur di tempat yang tepat.
Masyarakat dengan daya beli rendah, akan sulit mendapat layanan tersebut meski harganya terbilang relatif murah dibandingkan harga layanan internet lainnya.
Di sisi lain, operator pemenang lelang harus mencari pelanggan sebanyak-banyaknya agar tetap cuan dengan harga layanan yang berkisar Rp100.000-Rp150.000.
“Kuantiti yang sedemikian besar akan melemahkan dari frekuensi itu sendiri. Nah, jadi apakah ini akan tercapai? Jawaban saya ya dan tidak. Tetapi apakah akan bisa sustain dan menguntungkan provider? Nah, ini kita masih belum tahu,” kata Zul kepada Bisnis, Rabu (19/2/2025).