Bisnis.com, JAKARTA – Mantan CEO eFishery Gibran Huzaifah mengakui telah memoles laporan keuangan perusahaan startup agritech tersebut guna menyelamatkan perusahaan.
Gibran mengakui aksinya tersebut dimulai pada 2018. Saat itu, startup yang ia dirikan dari prototipe alat pemberi makan ikan hingga menjadi perusahaan rintisan dengan 100 pegawai kesulitan pendanaan dan hanya menyisakan tiga bulan sebelum cadangan mereka benar-benar habis.
Dia kemudian mulai memasukkan angka fiktif ke laporan keuangan. Dalam waktu satu jam, ia menciptakan sesuatu yang tak bisa diraih orang dalam lima tahun kerja keras, setidaknya di atas kertas.
Ia kemudian mengirim laporan tersebut ke investor, awalnya dia yakin tindakannya tersebut akan ketahuan. Tapi dugaan itu meleset. Para investor justru terkesan dengan perkembangan bisnisnya. Mereka menambah suntikan modal, tanpa sadar bahwa angka-angka tersebut palsu.
Pada akhir 2018, Gibran mulai mengembangkan fondasi manipulasi tersebut, yang kelak ambruk dan akhirnya merugikan investor kelas dunia hingga ratusan juta dolar.
“Ketika Anda bercermin dan menyadari kesalahan, Anda tahu itu bukan sesuatu yang bisa dibanggakan. Saya melakukannya untuk bertahan hidup,” ujar Gibran dalam wawancara dengan Bloomberg, dikutip Rabu (16/4/2025).
Enam tahun setelah ia mulai membuat dua versi pembukuan, yakni laporan keuangan riil untuk tim internal dan lainnya yang telah dipoles untuk pemodal, eFishery menjelma jadi salah satu startup paling cemerlang di Asia dengan valuasi mencapai US$1,4 miliar dan sekitar 2.000 karyawan.
Selain menjual alat pemberi pakan otomatis untuk meningkatkan produktivitas, mereka juga melebarkan bisnis ke sektor pembiayaan.
Namun ketika akhirnya benar-benar di ambang keruntuhan, semuanya terbongkar. Klaim perusahaan bahwa pendapatan mencapai US$752 juta dalam sembilan bulan pertama 2024 ternyata hanya hanya US$157 juta. Fakta ini terungkap dari audit internal.
Sejumlah nama besar dalam dunia modal ventura ikut terseret, termasuk SoftBank Group dari Jepang, Temasek dari Singapura, Sequoia India dan Asia Tenggara (kini Peak XV), 42XFund dari Abu Dhabi, hingga Social Capital milik Chamath Palihapitiya. Semuanya menolak memberikan komentar.
Dalam wawancara, Gibran mengatakan ia memutuskan berbicara ke publik karena ingin menegaskan bahwa ia tidak mencuri uang, dan sebagian besar karyawan tidak mengetahui apa yang sedang terjadi.
“Saya hanya ingin menyampaikan permintaan maaf terdalam saya kepada semua yang terdampak, terutama para petani. Mereka adalah alasan utama saya memulai semuanya ini,” jelasnya.
Awal Mula Segalanya
Cerita Gibran dalam dunia startup bermula ketika dia mengikuti berbagai kompetisi startup di Jakarta pada 2012. Dari sini dia belajar cepat mengenai membuat presentasi bisnis, menyusun strategi, dan menyelaraskan visi dengan angka yang menarik bagi investor.
Sebuah video YouTube dari Oktober 2013 memperlihatkan Gibran muda mempresentasikan gagasan andalannya: proses pemberian makan adalah biaya terbesar dalam akuakultur, dan alatnya bisa membuatnya jauh lebih efisien.
Pada 2015, Aqua-Spark, investor asal Belanda yang fokus pada akuakultur berkelanjutan, setuju mengucurkan dana awal sebesar $750.000.
Tantangan utama eFishery saat itu adalah harga alatnya yang tinggi dibanding margin tipis para petani ikan kecil. Harga satu unit bisa berkisar antara US$400 sampai US$600, tergantung ukuran dan diskon.
Jumlah yang tak terjangkau bagi banyak petani di Indonesia, di mana sekitar 10% dari 280 juta penduduk hidup di bawah garis kemiskinan dan biaya tenaga kerja murah.
Gibran lalu mengubah model bisnis. Dia menyewakan alat kepada petani dan berharap cara ini bisa memperluas pasar lebih cepat dan menutup biaya produksi dalam beberapa tahun. Tapi karena harus menanggung biaya produksi di awal, ia cepat kehabisan dana.
Ia berusaha menarik perhatian investor ventura di kawasan Asia Tenggara, namun ditolak berulang kali. Pada Desember 2017, laporan keuangan di Singapura mencatat eFishery hanya memiliki kas US$8.142.
Namun Aqua-Spark masih tertarik. Pada Mei 2018, mereka sepakat ikut pendanaan Seri A senilai US$1,5 juta, dibagi dalam tiga tahap. Tahap terakhir sebesar US$500.000 baru akan diberikan jika ada investor lain yang ikut.
Amy Novogratz yang merupakan salah satu pendiri Aqua-Spark membantah ada tanggungan pribadi dalam perjanjian.
Nyaris putus asa, kemudian ia bertanya ke pendiri startup lain. Jawabannya hanya kode “dipoles,” “growth hack.” Bagi Gibran, maknanya jelas. Manipulasi angka sudah jadi rahasia umum.
“Saya tahu itu salah. Tapi ketika semua melakukannya dan tak satu pun terkena, kamu mulai bertanya: apakah ini benar-benar salah?,” ungkapnya kepada Bloomberg.
Ia menilai dilema ini layaknya teka-teki moral: jujur tapi gagal, atau berbohong demi kelangsungan hidup banyak pihak.
“Kompas moral saya cenderung rasional — selama manfaat sosial yang dihasilkan lebih besar dari risikonya, saya anggap itu masih positif.”