Gojek (GOTO) Kaji Rencana Kenaikan Tarif Ojol, Pastikan Sesuai Regulasi

Pernita Hestin Untari
Rabu, 2 Juli 2025 | 07:40 WIB
Pengemudi ojek online melintas di kawasan Kuningan, Jakarta, Jumat (5/6/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Pengemudi ojek online melintas di kawasan Kuningan, Jakarta, Jumat (5/6/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA —  PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk. (GOTO) memastikan seluruh kebijakan tarif layanan ojek online (ojol) yang diterapkannya akan tetap mengikuti regulasi pemerintah. 

Hal tersebut disampaikan menyusul rencana Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang berencana akan menaikkan tarif ojol roda dua (2W) sebesar 8–15%. 

Director of Public Affairs and Communications GoTo, Ade Mulya, menegaskan perusahaan tengah melakukan kajian menyeluruh bersama kementerian guna memastikan keputusan yang diambil memberikan dampak positif terhadap ekosistem.

“Saat ini kami sedang melakukan kajian menyeluruh bersama kementerian untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil membawa dampak positif bagi keseluruhan ekosistem,” kata Ade kepada Bisnis pada Selasa (1/7/2025).

Ade memastikan Gojek berkomitmen untuk menyediakan tarif yang kompetitif serta mempertimbangkan daya beli masyarakat di tengah kondisi ekonomi saat ini.

Menurutnya, hal tersebut penting untuk menjaga keberlanjutan ekosistem, memastikan peluang order atau permintaan tetap tinggi, sehingga mendukung penghasilan mitra secara jangka panjang. 

“Kami akan terus berkoordinasi dan bekerjasama dengan pemerintah dalam menjalankan kebijakan yang sesuai dengan aturan yang berlaku,” tutup Ade. 

Namun demikian, rencana kenaikan tarif ini mendapat penolakan dari Asosiasi Pengemudi Ojol Garda Indonesia. Ketua Umum Garda, Raden Igun Wicaksono, menilai kebijakan ini belum melalui proses kajian yang melibatkan pengemudi.

“Garda tidak setuju adanya kenaikan tarif 8–15% karena hingga saat ini tidak ada komunikasi dan kajian komprehensif mengenai kenaikan tarif,” kata Igun saat dihubungi Bisnis, Selasa (1/7/2025).

Menurut Igun, fokus utama saat ini bukan pada besaran tarif, melainkan besarnya potongan biaya aplikasi yang dinilai sangat merugikan pengemudi. Dia menyebut aplikator telah melanggar batas maksimal potongan yang telah diatur oleh pemerintah tanpa mendapat sanksi tegas.

Dengan demikian, lanjut Igun, sudah saatnya perusahaan aplikasi harus menerima biaya potongan aplikasi cukup 10% saja. 

“Hal ini harus menjadi atensi khusus dari pemerintah dan negara, mohon agar pemerintah pro rakyat, jangan pro kepada pengusaha atas nama kestabilan dan keadilan, karena aplikator sudah tidak adil namun didiamkan begitu saja,” ujarnya.

Driver ojol menjadi salah satu tulang punggung bisnis ride hailing di Indonesia
Driver ojol menjadi salah satu tulang punggung bisnis ride hailing di Indonesia


Garda pun mengajukan lima tuntutan kepada pemerintah, mulai dari pembentukan UU Transportasi Online atau Perppu, pembatasan potongan aplikasi maksimal 10%, diskresi tarif layanan barang dan makanan, audit investigatif atas potongan yang tidak sesuai aturan, serta penghapusan berbagai skema sistem kerja yang dinilai eksploitatif. Jika tuntutan tidak direspons, Garda mengancam akan melakukan aksi lanjutan pada 21 Juli 2025, termasuk aksi serentak mematikan aplikasi oleh 500.000 pengemudi.

Senada dengan Garda, Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) juga menilai kenaikan tarif tidak akan berdampak signifikan jika potongan platform masih tinggi. Ketua SPAI, Lily Pujiati, menyebutkan potongan saat ini bahkan melebihi batas maksimal 20% yang telah ditetapkan.

“Potongan platform saat ini tidak mengikuti aturan maksimal 20% yang telah ditentukan pemerintah untuk layanan angkutan penumpang roda dua,” kata Lily dalam keterangan resmi pada Selasa (1/7/2025).

Lily juga menyoroti ketimpangan dalam layanan pengantaran makanan dan barang, di mana perusahaan platform masih menentukan tarif sepihak. SPAI mencatat bahwa pengemudi hanya menerima Rp5.200 dari biaya Rp18.000 yang dibayarkan pelanggan kepada platform, dan itu belum termasuk beban operasional lainnya.

Oleh karena itu, SPAI mendesak agar potongan platform diturunkan hingga 10% atau dihapuskan sama sekali, serta mendorong pemberlakuan sistem upah berbasis UMP untuk menggantikan skema pembayaran per order.

Lebih lanjut, SPAI juga meminta pemerintah menghapus istilah “kemitraan” dalam aturan transportasi online dan menggantinya dengan istilah “pekerja platform”, sebagaimana disepakati dalam forum International Labour Conference (ILC) ke-113 di Jenewa. SPAI berharap hal ini diakomodasi dalam RUU Ketenagakerjaan yang sedang disusun.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub, Aan Suhanan, memberi sinyal pemerintah bakal segera merevisi penetapan tarif per kilometer ojek online atau ojol.

Aan menyebut pihaknya telah mengkaji rencana kenaikan tarif tersebut. Nantinya, besaran kenaikan akan bervariasi sesuai dengan zona yang telah ditentukan

“Sudah kami buat, kami kaji sesuai dengan zona yang sudah ditentukan. Bervariasi kenaikan tersebut, ada [yang naik] 15%, ada 8% tergantung dari zona yang kita tentukan ada 3, Zona 1, 2, dan 3,” kata Aan dalam rapat dengan Komisi V DPR RI pada Senin (30/6/2025).

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper