Data Center Google Konsumsi 30,8 Juta Megawatt Sepanjang 2024, Naik 4 Kali Lipat

Pernita Hestin Untari
Rabu, 2 Juli 2025 | 19:51 WIB
CEO Alphabet Inc. Sundar Pichai saat wawancara di kampus Googles Bay View, California, Amerika Serikat pada Rabu (1/5/2024). / Bloomberg-David Paul Morris
CEO Alphabet Inc. Sundar Pichai saat wawancara di kampus Googles Bay View, California, Amerika Serikat pada Rabu (1/5/2024). / Bloomberg-David Paul Morris
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA — Google mengungkap bahwa data center mereka telah mengkonsumsi daya hingga 30,8 juta megawatt-jam listrik sepanjang 2024. 

Melansir laman TechCrunch pada Rabu (2/7/2025) angka tersebut meningkat lebih dari dua kali lipat apabila dibandingkan pada 2020 yang mencatat 14,4 juta megawatt jam.

Sebelumnya, Google telah berkomitmen untuk menggunakan sumber energi bebas karbon dalam seluruh operasionalnya.  Namun demikian, pertumbuhan pesat data center mereka membuat komitmen ini semakin menantang untuk diwujudkan. 

Hampir seluruh kebutuhan listrik Google berasal dari pusat data pada 2024, sekitar 95,8% dari total konsumsi listrik perusahaan digunakan untuk mengoperasikan fasilitas tersebut.

Rasio konsumsi listrik antara data center dan kebutuhan operasional lainnya juga konsisten selama empat tahun terakhir. 

Meski Google baru menyediakan data mulai 2020, jika rasio tersebut digunakan untuk menghitung ke belakang, maka diperkirakan pada 2014 pusat data Google hanya mengonsumsi sedikit lebih dari 4 juta megawatt-jam. 

Dengan perhitungan tersebut, dalam satu dekade, konsumsi energi data center Google naik hampir tujuh kali lipat.

Google sebenarnya telah mengoptimalkan efisiensi energi data center secara maksimal dan kerap dipuji sebagai perusahaan teknologi terdepan dalam hal ini. 

Namun, ketika rasio power usage effectiveness (PUE) atau efektivitas penggunaan daya perusahaan mendekati angka ideal 1,0, peningkatan efisiensi menjadi lebih lambat. 

Pada 2024, PUE Google tercatat sebesar 1,09 hanya membaik 0,01 poin dari tahun sebelumnya dan 0,02 dari satu dekade lalu.

Menyadari kebutuhan energi yang terus meningkat, Google mulai berinvestasi besar-besaran dalam berbagai sumber energi bebas karbon, termasuk panas bumi (geothermal), dua jenis energi nuklir (fisi dan fusi), serta energi terbarukan lainnya.

Energi panas bumi dinilai menjanjikan karena dapat menghasilkan listrik stabil tanpa tergantung cuaca. 

Beberapa startup seperti Fervo Energy—yang didukung Google—berhasil mengembangkan teknologi pengeboran untuk memanfaatkan potensi ini secara lebih luas.

Di sisi energi nuklir, Google baru saja mengumumkan investasi pada Commonwealth Fusion Systems dan akan membeli 200 megawatt listrik dari pembangkit Arc mereka yang ditargetkan mulai beroperasi awal 2030-an. 

Sementara itu, untuk energi fisi, Google telah berkomitmen membeli 500 megawatt listrik dari Kairos Power, perusahaan pengembang reaktor modular kecil.

Meski demikian, kedua proyek nuklir tersebut belum akan menghasilkan listrik dalam waktu dekat, paling tidak dalam lima tahun ke depan. Google juga gencar membeli kapasitas dari sumber terbarukan. 

Pada Mei 2025, Google membeli kapasitas 600 megawatt dari pembangkit surya di South Carolina, dan pada Januari mengumumkan kerja sama untuk 700 megawatt pembangkit surya di Oklahoma. 

Bersama Intersect Power dan TPG Rise Climate, Google tengah membangun beberapa gigawatt kapasitas pembangkit bebas karbon, dengan total nilai investasi mencapai US$20 miliar atau setara dengan sekitar Rp 324 triliun dengan kurs 16.202 per dolar AS. 

Secara total, Google telah mengontrak energi terbarukan dalam jumlah yang setara dengan total konsumsi energinya. Namun, tantangannya adalah sumber-sumber tersebut tidak selalu tersedia pada waktu dan lokasi yang dibutuhkan.

“Kami sejak awal menyatakan bahwa pencapaian 100% pemadanan energi secara tahunan bukanlah tujuan akhir. Tujuan akhir kami adalah mencapai penggunaan energi bebas karbon 24/7 di seluruh lokasi operasi kami, sepanjang waktu,” kata Michael Terrell, Kepala Divisi Energi Terbarukan Google

Secara global, baru sekitar 66% konsumsi data center Google yang dipadankan secara real-time dengan listrik bebas karbon. Angka ini juga bervariasi antarwilayah di Amerika Latin, angkanya sudah mencapai 92%, namun di kawasan Timur Tengah dan Afrika, baru menyentuh 5%.

Menurut Terrell, hambatan-hambatan inilah yang mendorong Google untuk berinvestasi pada sumber energi stabil seperti fisi dan fusi. 

“Untuk bisa mencapai target kami, teknologi-teknologi ini sangat dibutuhkan,” katanya.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper