DPR Minta Indonesia Tiru Kanada, Atur Transparansi Algoritma Meta–TikTok Cs

Pernita Hestin Untari
Rabu, 16 Juli 2025 | 13:42 WIB
Penyelenggara platform over the top Google FB twitter./Source: freepik.com
Penyelenggara platform over the top Google FB twitter./Source: freepik.com
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA— Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berharap Indonesia bisa meniru sejumlah negara yang telah lebih dahulu menerapkan regulasi ketat terhadap platform digital seperti Meta, YouTube, dan TikTok. Khususnya dalam pengawasan algoritma.

Hal tersebut seiring dengan pembahasan Revisi UU Penyiaran untuk menyesuaikan regulasi penyiaran dengan perkembangan zaman, termasuk tantangan dari media baru dan platform digital. 

Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Amelia Anggraini, mencontohkan pendekatan beberapa negara yang telah memiliki regulasi tegas.

“Seperti di Kanada itu melalui Kebijakan Online Streaming Act, mewajibkan semua platform seperti Meta, dan TikTok, dan YouTube juga tunduk pada regulasi nasional. Termasuk transparansi, algoritma, dan kontribusi pada ekosistem media lokal,” kata Amelia Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja Penyiaran bersama perwakilan dari platform digital seperti Google, YouTube, Meta, dan TikTok di Komisi I  DPR RI, Jakarta, Selasa (15/7/2025). 

Dia juga menyinggung regulasi yang diterapkan oleh Perancis dan Singapura. 

Perancis melalui Autorité de régulation de la communication audiovisuelle et numérique (ARCOM) mewajibkan platform digital mendaftarkan diri dan membuka sistem rekomendasi untuk diaudit. 

Sementara Singapura menggunakan UU Protection from Online Falsehoods and Manipulation Act (POFMA) yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menangani disinformasi digital.

Amelia lantas meminta penjelasan langsung dari Meta terkait kesiapan platform tersebut terhadap rencana pengawasan yang tengah dirumuskan dalam pembahasan revisi UU Penyiaran. Termasuk transparansi, algoritma,  penghapusan konten yang melanggar pedoman perilaku penyiaran,  serta kewajiban untuk pendaftaran platform ke lembaga pengawas penyiaran.

“Bagaimana pandangan Meta Group ini terhadap rencana pemerintah untuk mengatur dan mengawasi penyelenggaraan platform digital penyiaran dalam beberapa hal,” katanya. 

Dalam RUU Penyiaran yang tengah dibahas, DPR mengusulkan agar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) diberikan wewenang untuk mengakses algoritma rekomendasi konten. Tujuannya untuk mencegah penyebaran konten ekstrem, hoaks, paham radikal, hingga konten yang tidak layak bagi anak.

Amelia juga menyoroti kecenderungan algoritma yang tidak transparan dan dikhawatirkan mematikan keragaman budaya lokal. Dia pun kembali menegaskan urgensi revisi UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yang dinilai sudah tidak relevan dengan dinamika media saat ini.

“Undang-undang ini dari tahun 2002 sudah tidak relevan dengan situasi saat ini. Maka itu direvisi. Karena konten itu juga kan definisinya sama dengan siar. Sesuatu yang dipublis, sesuatu yang disiar,” katanya.

Logo TikTok di Smartphone
Logo TikTok di Smartphone

Sebelumnya, Head of Public Policy TikTok Indonesia Hilmi Adrianto menyampaikan keberatan jika platform user-generated content (UGC) seperti TikTok disamakan dengan lembaga penyiaran tradisional dalam hal pengawasan dan regulasi.

“Kami melihat perbedaannya sangat signifikan dengan lembaga penyiaran tradisional, terutama dari sisi pembuatan isi konten. Platform UGC seperti TikTok memuat konten yang dibuat oleh pengguna individu, lembaga penyiaran tradisional, maupun layanan OTT,” ujar Hilmi.

Menurutnya, TikTok sudah menerapkan sistem moderasi konten berbasis teknologi dan manusia di bawah kerangka Kominfo dan Komdigi, sehingga pengawasan tak perlu disamakan dengan media siaran.

“Kami merekomendasikan agar platform UGC tidak diatur di bawah aturan yang sama dengan penyiaran konvensional guna menghindari ketidakpastian hukum. Kami menyarankan agar platform UGC tetap berada di bawah moderasi Komdigi,” tegasnya.

Hilmi juga menolak pendekatan one-size-fits-all terhadap platform digital dan media konvensional karena perbedaan model bisnis dan tata kelola konten yang mendasar.

Sementara itu, Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Nico Siahaan, menyatakan revisi UU Penyiaran penting untuk mengisi kekosongan aturan terhadap konten digital.

“Kalau konten terestrial sudah jelas ada aturan, tapi konten digital belum. Bagaimana pengaturannya? Ini tetap harus kita atur,” kata Nico ditemui usai RDPU, pada Senin (14/7/2025).

Dia menyebut definisi “siaran” tidak bisa diubah sembarangan. Jika seseorang membantu menyebarluaskan konten, bisa saja tetap dikenai ketentuan penyiaran, meski bukan pembuat konten langsung. Nico pun membuka opsi pemisahan pengaturan antara media digital dan konvensional dalam dua UU terpisah. 

“Kalau memisahkan ya bisa saja. Artinya kita bisa pisahkan dengan judul yang lain. UU yang lain nanti kita bikin,” katanya.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper