Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengungkap pembentukan Lembaga Pengawas Pelindungan Data Pribadi (LPPDP) sebagai amanat Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) masih dalam tahap harmonisasi.
Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Wamenkomdigi) Nezar Patria mengatakan pembentukan LPPDP masih dalam tahap pembahasan lantaran kompleksitas substansi pasal-pasalnya.
“Lembaga PDP lagi diharmonisasi ya, lagi dibahas terus karena pasalnya banyak, lebih dari 200 ya jadi harus dilihat satu per satu pasal-pasal itu dan kami harapkan bisa segera selesai,” kata Nezar di Kantor Komdigi pada Senin (28/7/2025).
Nezar mengungkapkan proses harmonisasi tersebut diharapkan dapat rampung pada Agustus. Dia menambahkan penyelesaian harmonisasi akan mempercepat kejelasan institusi pelindung data pribadi yang dibutuhkan, terutama dalam konteks kerja sama internasional.
“Kalau bisa seperti ini jadi kami bisa speed up prosesnya sehingga kejelasan yang diminta itu kami bisa berikan,” katanya.
Sebelumnya, Lembaga Riset Keamanan Siber Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) mengingatkan pemerintah untuk segera membentuk LPPDP.
Terlebih, Indonesia dan Amerika Serikat (AS) telah sepakat untuk melakukan transaksi pertukaran data. Sejak UU PDP diluncurkan pada 2022, lembaga PDP yang bertugas mengawasi tanggung jawab koperasi dalam melindungi data pribadi, tak kunjung terealisasi.
Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC, Pratama Persadha mengatakan UU PDP tidak secara mutlak melarang transfer data pribadi ke luar negeri. Pasal 56 UU tersebut memberikan ruang legal untuk transfer data lintas batas.
“Namun dengan syarat negara tujuan memiliki standar perlindungan data yang setara atau lebih tinggi daripada Indonesia, atau jika telah ada perjanjian internasional yang mengikat,” kata Pratama dalam keterangan resmi dikutip pada Jumat (25/7/2025).
Pratama mengatakan peran LPPDP diperlukan, di mana kelak lembaga tersebut bertugas mengevaluasi secara objektif apakah negara tujuan, termasuk AS memenuhi standar yang ditetapkan. Dengan demikian, lanjut dia, kerja sama dengan AS terkait arus data justru dapat menjadi pemicu positif untuk mempercepat penyusunan Peraturan Pemerintah (PP PDP) sebagai aturan teknis pelaksanaan UU PDP, sekaligus mendorong percepatan pembentukan LPPDP yang independen dan berwenang.
“Tanpa perangkat pelaksana dan lembaga pengawas ini, komitmen Indonesia dalam melindungi hak digital warganya akan sulit diterjemahkan dalam kebijakan yang operasional dan berdaya guna,” katanya.
Namun demikian, Pratama juga mengingatkan Indonesia tidak bisa menutup mata terhadap potensi risiko yang menyertai aliran data lintas batas.
Terlebih di era seperti sekarang ini, di mana data telah menjadi komoditas strategis setara dengan energi atau mineral, negara-negara besar telah menjadikan penguasaan data sebagai instrumen pengaruh global.