Revisi 2 Beleid Telekomunikasi Ini Dorong Pembangunan Broadband

Sholahuddin Al Ayyubi
Senin, 31 Oktober 2016 | 21:04 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Revisi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52/2000 tentang telekomunikasi dan PP No. 53/2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit dinilai akan mendorong pembangunan broadband di Indonesia.

Imam Nashiruddin, Anggota Komisioner BRTI mengemukakan revisi tersebut kini dibutuhkan oleh Indonesia sebagai salah satu upaya untuk mempercepat dan mendorong pembangunan broadband hingga ke daerah yang skala ekonominya kecil, seperti Indonesia bagian Timur.

"Justru revisi ini sangat penting dan dibutuhkan untuk mendorong pembangunan broadband di pelosok Indonesia," tuturnya kepada Bisnis di Jakarta, Senin (31/10/2016).

Dia juga berpandangan dewasa ini pembangunan jaringan masih bertumpu di sejumlah wilayah yang secara komersial cukup menguntungkan. Menurut Imam, pemerintah dan operator perlu duduk bersama untuk mencari solusi agar dapat mengcover jaringan di wilayah yang dinilai kurang menguntungkan.

"Salah satunya dengan insentif diperbolehkannya untuk berbagi infrastruktur pasif," katanya.

Imam mengatakan sejumlah negara juga sudah mulai menerapkan network sharing terhadap operator untuk menghemat biaya operasi jaringan, sehingga industri menjadi lebih efisien dan sehat. "Seharusnya semua pihak dapat mengambil kesempatan ini ya, jadi industrinya lebih efisien," ujarnya.

Dia juga memprediksi proses revisi ke dua PP tersebut dinilai akan rampung tidak lama lagi. Imam berharap dengan direvisinya ke dua PP tersebut, penetrasi broadband akan semakin massif di seluruh wilayah Indonesia.

"Semoga segera didapatkan yang terbaik untuk meningkatkan penetrasi broadband di seluruh wilayah indonesia sehinga lebih mampu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional," katanya.

Secara terpisah, Rahardjo Tjakraningrat, Ketua Dewan Pembina Asosiasi Perusahaan Nasional Telekomunikasi (Apnatel) mengemukakan revisi ke dua PP tersebut dinilai akan merugikan negara secara struktural. “Jika itu terjadi, maka tidak hanya Telkom yang dirugikan tetapi juga Indonesia akan dirugikan,” tuturnya.

Dia berpandangan penetapan biaya interkoneksi seharusnya dilakukan secara asimetris, untuk menghargai jerih payah masing-masing operator membangun jaringan sejak awal di seluruh pelosok Indonesia.

“Ada yang bangun jaringan hingga pelosok, masa dikasih cost recovery sama dengan yang hanya bangun di perkotaan. Ini namanya tak adil,” katanya.

Menurut Rahardjo, Telkom merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dimana keuntungan yang didapatkan, sebagian akan diserahkan ke negara sebagai salah satu pemegang saham, karena itu dia mengatakan jika pendapatan Telkom menurun maka penghasilan negara juga akan berkurang.

“Ini artinya negara juga turun pendapatannya, kalau negara berkurang penghasilan, yang rugi di ujung siapa, ya, Indonesia ini,” ujarnya.

Rahardjo mengatakan jika network sharing menjadi wajib untuk dilakukan oleh operator, maka hal tersebut dinilai dapat melanggar persaingan usaha karena ada pemain yang dirugikan, sementara pemain lain menikmati keuntungan.

“Saya sarankan pemerintah jika mau ganti regulasi itu yang bikin industri makin kompetitif dan sehat,” ucapnya.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper