2Bulan Purnama hingga Bulan Sabit
5. Bulan Purnama
Nama lainnya adalah Oposisi [solar] atau Istiqbal, yakni konfigurasi ketika Matahari-Bumi-Bulan dalam posisi segaris jika diamati dari atas bidang ekliptika dan Bulan berada pada sisi yang berlawanan dengan Matahari. Dikarenakan posisi Bulan berlawanan dengan Matahari, maka permukaan Bulan yang menghadap Bumi terkena cahaya Matahari sehingga Bulan tampak bercahaya.
Penamaan “oposisi” atau dalam bahasa Arab “istiqbal” merujuk pada posisi Bulan yang berlawanan dengan Matahari. Setiap 5-6 lunasi* sekali, Bulan akan berada di simpulnya (perpotongan antara ekliptika dengan orbit Bulan), sehingga Bulan Purnama tidak selalu terjadi gerhana Bulan. Hal ini dikarenakan orbit Bulan miring 5,1 derajat terhadap ekliptika dan periode simpul Bulan (disebut juga periode drakonis) lebih pendek 2,2 hari dibandingkan dengan lunasi.
Saat fase Bulan Purnama, gaya diferensial (gaya pasang surut) yang ditimbulkan oleh Matahari dan Bulan memiliki arah yang sama sehingga resultan gaya diferensialnya menjadi maksimal. Kondisi ini disebut juga sebagai pasang purnama (spring tide). Tonjolan (bulge) pada gaya diferensial selalu menghadap ke arah yang berlawanan yakni menjauhi dan mendekati objek penyebabnya. Oleh karenanya, arah gaya diferensial Matahari dan Bulan saat Bulan Purnama tetap searah.
Umumnya, Bulan Purnama terbit saat Matahari terbenam dan terbenam saat Matahari terbit sehingga sepanjang malam disinari oleh Bulan Purnama. Baik dalam Kalender Hindu maupun Buddha, Bulan Purnama digunakan untuk menandai berbagai perayaan keagamaan seperti Holi dan Diwali/Deepavali.
*lunasi adalah periode sinodik Bulan, yakni interval waktu antara Bulan Baru dengan Bulan Baru berikutnya. Durasinya bervariasi antara 29,2 hingga 29,8 hari dengan rata-rata 29,5 hari.
6. Bulan Susut/Benjol Akhir
Yakni konfigurasi ketika Matahari-Bumi-Bulan membentuk sudut tumpul (antara 90-180 derajat) jika diamati dari atas bidang ekliptika dan berada di sebelah barat Matahari jika diamati dari pengamat di permukaan Bumi. Bulan Susut umumnya terbit setelah Matahari terbenam hingga sebelum tengah malam, dan terbenam setelah Matahari terbit hingga sebelum tengah hari. Bulan Besar dapat terlihat saat pagi hari di atas ufuk barat ketika Matahari masih di atas ufuk timur sehingga Sobat tidak perlu heran. Penamaan “benjol” berasal dari bentuknya yang cembung seperti benjolan.
Terkadang, fase benjol akhir juga disebut “cembung akhir”. Penamaan “Bulan Susut” dikarenakan cahaya Matahari yang mengenai permukaan Bulan yang menghadap Bumi semakin menyusut/berkurang.
7. Bulan Perbani [Kwartir] Akhir
Yakni konfigurasi ketika Matahari-Bumi-Bulan membentuk sudut siku-siku (tepat 90 derajat) jika diamati dari atas bidang ekliptika dan berada di sebelah barat Matahari jika diamati dari pengamat di permukaan Bumi. Bulan Perbani Akhir umumnya terbit saat tengah malam, berkulminasi saat Matahari terbit dan terbenam saat tengah hari (ketika Matahari mengalami kulminasi/mencapai titik tertinggi di atas ufuk). Saat fase Bulan Perbani, gaya diferensial (gaya pasang surut) yang ditimbulkan oleh Matahari dan Bulan memiliki arah yang saling tegak lurus, sehingga resultan gaya diferensialnya menjadi minimal.
Kondisi ini disebut juga sebagai pasang perbani (neap tide). Bulan Perbani Akhir yang terlihat saat tengah malam dijadikan sebagai penanda masuknya fase paruh gelap (dark fortnight) dalam kalender candrakala Sunda. Untuk konfigurasi planet yang serupa dengan Bulan perbani (seperti pada Merkurius dan Venus), fase perbani dapat disebut juga kuadratur maupun dikotomi (dichotomy)
8. Bulan Sabit Akhir
Yakni konfigurasi ketika Matahari-Bumi-Bulan membentuk sudut lancip (kurang dari 90 derajat) jika diamati dari atas bidang ekliptika dan berada di sebelah barat Matahari jika diamati dari pengamat di permukaan Bumi. Bulan Sabit Awal umumnya terbit sebelum Matahari terbit dan terbenam sebelum Matahari terbenam. Penamaan “sabit” karena bentuknya menyerupai sabit/arit yang digunakan untuk menyiangi rumput dan gulma di pekarangan.