Bos EXCL dan ISAT Minta Menkomdigi Kaji Ulang Struktur Ongkos Regulator

Erta Darwati
Kamis, 24 Oktober 2024 | 15:07 WIB
Menara telekomunikasi yang berada di tengah perkotaan dengan trafik tinggi
Menara telekomunikasi yang berada di tengah perkotaan dengan trafik tinggi
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Presiden Direktur dan CEO PT XL Axiata Tbk. Dian Siswarini dan Director & Chief Business Officer PT Indosat Tbk. Danny Buldansyah berharap Menteri Komunikasi Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid bersedia mengkaji kembali biaya regulator yang dibebankan ke operator seluler, salah satunya tarif sewa spektrum frekuensi. 

Rasio ongkos regulator terhadap pendapatan operator seluler Tanah Air saat ini berada di level 13-14%. Di atas rerata ongkos regulator Asia Tenggara yang sebesar 7%. 

Dian mengatakan bahwa regulatory charges termasuk di antaranya BHP frekuensi, cukup memberatkan pemain telekomunikasi di tengah kondisi industri yang melandai.

Ongkos regulator yang besar juga menghambat langkah perusahaan untuk memperluas jaringan menjangkau daerah-daerah rural. 

"Pertama mengenai regulatory charges, sekarang ini besarannya sudah 13-14% terhadap revenue. Kalau seperti itu, membuat kami sulit mengembangkan infrastruktur selanjutnya," katanya saat Media Gathering di Yogyakarta, Rabu (23/10/2024).

Dian juga mengatakan ongkos regulator yang besar juga akan membuat penggelaran teknologi cepat itu berjalan lambat, karena operator tidak memiliki dana untuk ekspansi.

Menurutnya, pengguliran jaringan 5G membutuhkan investasi yang cukup besar. Apabila regulatory charges masih mahal, maka 5G hanya akan menjadi angan-angan.

Pada kesempatan berbeda, Director & Chief Business Officer Indosat Ooredoo Hutchison Danny Buldansyah juga menaruh harapan yang sama, yaitu penyehatan industri telekomunikasi dengan pengkajian ulang ongkos regulator.

Terdapat beberapa poin dari komponen ongkos regulator yang kurang relevan dengan zaman saat ini.  

Menurutnya, ongkos regulator berada di kisaran 10 persen, bukan 12-13%. "Idealnya barangkali 6-7% gitu ya,” kata Danny. 

Sebelumnya, dalam acara Bisnis Indonesia Forum (BIF) berharap isu terkait fiber optic hingga fixed broadband menjadi perhatian di era Prabowo—Gibran, terutama dalam hal regulasi.

Ketua Umum APJATEL Jerry Siregar mengatakan bahwa industri telekomunikasi masih dihadapi dengan sejumlah isu yang belum diselesaikan, seperti perizinan hingga sewa jaringan utilitas terpadu.

 “Tarif sewa jaringan utilitas itu masih terjadi mindset yang berbeda dari pimpinan-pimpinan daerah,” kata Jerry.

Jerry menyampaikan bahwa saat ini sudah ada perubahan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah, menjadi Permendagri Nomor 7 Tahun 2024.

Pada pasal 128 nomor 6 dan 7, Jerry menjelaskan bahwa beleid itu berbunyi jika pemerintah daerah (Pemda) dan pemerintah kota (Pemkot) tidak melaksanakan atau membangun sarana jaringan utilitas terpadu, maka Pemda Pemkot tersebut tidak dapat menerapkan penarikan biaya sewa jaringan fiber optic. 

“Tapi jika mereka atau Pemda Pemkot dalam hal ini membangun sarana jaringan utilitas terpadu, maka faktor penyewa sebesar 4–16%,” imbuhnya. 

Penulis : Erta Darwati
Editor : Leo Dwi Jatmiko
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper