Bisnis.com, JAKARTA - Kasus dugaan manipulasi keuangan yang menjerat eFishery menjadi sinyal peringatan bagi dunia usaha di Indonesia. Startup yang pernah menyandang status unicorn ini kini diterpa tuduhan ketidaktransparanan dalam laporan keuangannya.
Perusahaan rintisan yang sempat dielu-elukan sebagai pionir di sektor teknologi perikanan itu diduga melakukan praktik window dressing demi menarik investor dan menjaga valuasi tetap tinggi.
Dugaan manipulasi laporan keuangan senilai US$600 juta atau sekitar Rp9,7 triliun, menegaskan kembali pentingnya peran komisaris dan direksi dalam memastikan penerapan tata kelola yang baik (good corporate governance/GCG). Khususnya, prinsip transparansi dan akuntabilitas yang menjadi kunci dalam menyusun laporan keuangan agar sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku.
Praktik kecurangan ini mencerminkan lemahnya pengawasan komisaris. Sebagai organ utama dalam tata kelola perusahaan, komisaris seharusnya melakukan pemeriksaan secara menyeluruh serta memberikan arahan kepada direksi jika terindikasi adanya penyimpangan.
Komisaris wajib mengidentifikasi dan merespons setiap potensi kerugian, terlebih jika ada unsur tindak pidana seperti penggelapan yang diatur dalam Pasal 372 KUHP. Dalam situasi seperti ini, deteksi dini dan pelaporan kepada pemegang saham menjadi tanggung jawab mutlak.
Posisi hukum komisaris bukan sekadar formalitas. Regulasi telah menetapkan bahwa anggota komisaris dapat dimintai pertanggungjawaban pribadi atas kerugian yang dialami perusahaan jika terbukti bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 114 ayat (3) Undang-Undang Perseroan Terbatas (UUPT). Artinya, tanggung jawab hukum komisaris dan direksi dalam menanggung kerugian perusahaan berada pada tingkat yang sama.
Setidaknya ada tiga aspek utama yang harus dijamin oleh direksi dan komisaris. Pertama, memastikan keandalan pelaporan, baik internal maupun keuangan. Kedua, menjaga efisiensi dan efektivitas operasi. Ketiga, memastikan kepatuhan terhadap hukum dan regulasi yang berlaku (COSO, 2013). Pengawasan terhadap ketiga aspek ini mutlak diperlukan. Sebab, komisaris idealnya memiliki pemahaman mendalam tentang akuntansi, audit, sistem pengendalian internal, serta aspek hukum. Kombinasi keahlian ini dikenal sebagai akuntansi forensik (Tuanakotta, 2010).
Kasus laporan keuangan Garuda Indonesia menjadi contoh nyata bagaimana ketidakwajaran dalam laporan keuangan terungkap berkat komisaris yang memiliki kompetensi di bidang tersebut. Kini, keputusan ada di tangan pemegang saham: apakah penunjukan komisaris akan berbasis kompetensi atau sekadar formalitas belaka. Sebab, tanggung jawab hukum atas laporan keuangan berada di tangan direksi dan komisaris, meskipun telah diaudit oleh akuntan publik (AP) dan mendapat opini wajar tanpa pengecualian (WTP).
Akuntan publik hanya bertanggung jawab atas opini audit yang mereka keluarkan, sedangkan hubungan antara AP dan direksi bersifat perdata, dituangkan dalam dokumen perikatan yang menetapkan batas tanggung jawab masing-masing pihak.
Namun, dalam praktiknya, masih banyak perusahaan yang menggunakan Surat Pernyataan sebagai pelengkap laporan keuangan. Secara hukum, dokumen ini sering kali tidak memiliki kejelasan makna. Jika demikian, mengapa masih diperlukan?
Dalam ranah hukum, Surat Pernyataan hanyalah dokumen sepihak yang dapat dicabut kapan saja selama pembuatnya tidak mengakui kebenarannya. Dokumen ini baru memiliki kekuatan hukum yang mengikat jika isi pernyataan tersebut diakui oleh pihak yang membuatnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 1875 KUH Perdata.
Pada akhirnya, keberadaannya tidak mengurangi tanggung jawab direksi dan komisaris dalam penyusunan laporan keuangan. Tanpa surat pernyataan pun, UUPT dan regulasi terkait sudah menetapkan kewajiban serta konsekuensi hukum bagi direksi dan komisaris.
Apalagi, jika laporan keuangan berasal dari perusahaan yang mendapatkan pendanaan besar dari investor, kesalahan dalam penyusunan bisa berujung pada kerugian yang luas.
Oleh karena itu, perusahaan harus dikelola oleh seorang yang profesional dan kompeten, bukan sekadar figur tanpa keahlian. Sudah saatnya eFishery menempatkan direksi dan komisaris dengan kualifikasi yang tepat agar praktik kecurangan tidak berulang.
Profesionalisme, kompetensi, dan integritas harus menjadi faktor utama dalam proses seleksi, terutama bagi dewan komisaris. Tanpa itu, pengawasan hanya akan menjadi formalitas belaka.
Kasus eFishery memaksa dunia usaha untuk berpikir lebih dalam tentang cara menutup celah kerugian dan mencegah fraud agar tidak kembali terjadi. Pertanyaannya, apakah masalahnya terletak pada kelemahan sistem atau justru pada orang-orang yang tidak tepat di dalamnya? Bisa saja sistem sudah dirancang dengan baik, tetapi jika sumber daya manusia (SDM) yang menjalankannya tidak kompeten, maka pembenahan harus dimulai dari sana.
Sebab, sebagus apa pun sistem yang dibangun, faktor utama tetaplah SDM yang mengoperasikannya. Dalam hal ini. yang dibutuhkan bukan sekadar individu dengan keahlian teknis, melainkan juga yang memahami aspek hukum dalam laporan keuangan. Dengan begitu, mereka tidak hanya terhindar dari jerat hukum, tetapi juga berkontribusi pada penerapan GCG di perusahaan.
Sebagai organ tertinggi dalam perusahaan, pemegang saham seharusnya mengevaluasi ulang penempatan direksi dan komisaris yang tidak kompeten maupun berintegritas. Publik sudah jenuh menyaksikan berulangnya kasus penyimpangan dan kejahatan keuangan. Dunia bisnis selalu berpacu dengan upaya pembenahan.
Oleh karena itu, tidak ada lagi ruang untuk menunda-nunda. Kebijakan perbaikan di eFishery harus segera diwujudkan dalam tindakan nyata.