Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom memperkirakan perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China akan makin memanas, termasuk di sektor teknologi. Hal ini seiring dengan langkah Presiden AS Donald Trump yang mengerek tarif menjadi 125% untuk China.
Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho menyebut perang dagang AS–China masih jauh dari kata selesai.
“Justru, eskalasi dengan China makin tinggi. AS tetap mempertahankan tarif yang sangat besar pada China, bahkan meningkatkan level tarif hingga 125%,” kata Andry kepada Bisnis, Kamis (10/4/2025).
Baca Juga Perang Dagang Memanas, DCII, BNLI, ANJT Cs Cuan Ratusan Persen Sejak Trump jadi Presiden AS |
---|
Di sisi lain, Andry menilai China juga sudah menunjukkan sikap keras dengan membalas tarif AS dan memperkuat strategi substitusi impor hingga diversifikasi pasar ekspor.
“Jadi, yang akan kita lihat adalah pertarungan jangka panjang, dengan kemungkinan babak baru perang tarif, pembalasan kebijakan non-tarif, dan persaingan teknologi yang semakin tajam,” ujarnya.
Seiring dengan perang dagang AS—China yang semakin memanas, kata Andry, Indonesia harus memperkuat daya saing domestik dan tetap melakukan diversifikasi pasar ekspor. Serta, menjaga hubungan baik dengan kedua kekuatan besar, tanpa terjebak dalam blokade geopolitik.
“Bagi negara seperti Indonesia, ini berarti kita harus cermat membaca dinamika dan fleksibel dalam merespons setiap perubahan,” imbuhnya.
Sementara itu, Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengatakan sepanjang AS di bawah pimpinan Donald Trump, perang dagang dengan Negeri Tirai Bambu akan semakin sengit
“Akan sangat brutal [perang dagang AS—China]. Trump masih memimpin 3,5 tahun lagi, sepanjang masa itu akan selalu ada kejutan baru,” kata Wijayanto kepada Bisnis.
Bahkan, Wijayanto menyebut pengganti dari Trump di periode berikutnya pun tidak akan mudah mengubah arah, lantaran sifat perubahan yang Trump lakukan sangat struktural.
Terlebih, dia menyebut AS melihat China sebagai calon hegemoni baru dunia. “Dia tidak ingin berbagi kekuasaan, sehingga AS akan menghentikan kebangkitan China at all cost. Tetapi, langkah yang diambil AS salah, sehingga justru akan mempercepat kejatuhan AS,” tandasnya.