Bisnis.com, JAKARTA — Akademisi mengkritisi langkah Elon Musk yang membatasi masyarakat Indonesia untuk mendapat layanan satelit orbit rendah Starlink dengan alasan kapasitas yang tersedia sudah penuh.
Kehadiran Starlink belum memberikan dampak signifikan terhadap pemerataan internet, karena diduga terlalu sibuk melayani pelanggan di wilayah gemuk atau wilayah dengan nilai ekonomi tinggi.
Diketahui, untuk menggunakan layanan Starlink, masyarakat harus membeli perangkat VSAT Starlink dengan harga sekitar Rp4,6 jutaan untuk yang standard.
Setelah memiliki perangkat, pengguna dikawasan residensial dapat harus membayar layanan senilai Rp750.000 per bulan untuk mendapat akses internet Starlink. Harga tersebut dinilai cukup mahal dan tidak dapat diakses oleh seluruh lapisan.
Ketua Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB), Ian Yosef M. Edward mengaku telah memperkirakan sejak lama akan ‘tragedi’ ini. Bandwidth satelit Starlink terbatas dan akan mencapai titik jenuhnya, sehingga tidak bisa lagi melayani masyarakat.
Dia mengatakan langkah Starlink membatasi masyarakat untuk berlangganan Starlink, sangat merugikan masyarakat Indonesia. Di sisi lain, dia juga mempertanyakan komitmen atas izin labuh dan frekuensi yang diberikan oleh Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengingat Starlink tidak memberikan pemerataan di seluruh wilayah Indonesia karena kapasitasnya keburu habis atau penuh.
“Seharusnya memang ada kewajiban untuk USO nya. Harus dicek kembali apakah kewajibannya sudah dijalankan?” kata Ian kepada Bisnis, Minggu (13/7/2025).
USO (Universal Service Obligation) adalah program pemerintah untuk menyediakan layanan dasar telekomunikasi dan informatika, termasuk internet, di daerah terpencil, perbatasan, dan tertinggal yang tidak terjangkau oleh layanan komersial. Penyelenggara internet memiliki kewajiban untuk melakukan hal ini.
Ian juga memperkirakan dampak dari kebijakan Elon Musk, kemungkinan pembangunan hub tidak akan terpenuhi, cakupan seluruh wilayah tidak akan terlaksana, pendapatan negara berkurang dan tidak ideal dengan izin labuh yang diberikan.
“Seharusnya dari awal sudah ada berapa trafik yang akan diberikan ke Indonesia. Ini akibat semua sistem bukan dibangun di Indonesia. Penjual perangkat VSAT di Indonesianya yang masih belum terjual, menjadi tidak punya nilai. Harus ditinjau ulang untuk izin labuh dan kewajibannya; perlu dilihat bandwidth yang diberikan dengan kewajaran trafik yang diberikan,” kata Ian.
Sementara itu Kepala Bidang Media Asosiasi Satelit Indonesia (Assi) Firdaus Adinugroho menyarankan kepada para pengguna Starlink—baik yang sudah menggunakan maupun yang berencana menggunakan— untuk menunggu kejelasan lebih lanjut terkait langkah teknis maupun kebijakan dari pihak penyedia layanan dan otoritas terkait.
Assi juga mendorong agar pemerintah memastikan bahwa kapasitas yang tersedia dari penyedia layanan satelit global seperti Starlink diprioritaskan untuk mendukung konektivitas di wilayah-wilayah yang belum terlayani, khususnya di daerah 3T.
“Prinsip keadilan akses dan pemerataan digital tetap harus menjadi pegangan utama dalam setiap kebijakan konektivitas nasional. Di saat yang sama, Assi juga mendorong perlindungan dan pemberdayaan industri satelit nasional agar tetap memiliki ruang tumbuh yang adil dan berkelanjutan, demi menjaga kedaulatan dan ketahanan infrastruktur digital Indonesia,” kata Daus.