Potensi Transaksi Pelanggan AI di Asia Pasifik Tembus Rp520 Triliun

Hafiyyan
Senin, 25 Agustus 2025 | 13:37 WIB
Transaksi AI di Asia-Pasifik diprediksi capai Rp520 triliun pada 2028, dengan investasi infrastruktur AI melampaui Rp487 triliun pada 2027.
Transaksi AI di Asia-Pasifik diprediksi capai Rp520 triliun pada 2028, dengan investasi infrastruktur AI melampaui Rp487 triliun pada 2027.
Bagikan
Ringkasan Berita
  • Transaksi pelanggan melalui agen AI di Asia-Pasifik diprediksi mencapai lebih dari US$32 miliar pada 2028, dengan investasi infrastruktur dan platform AI melampaui US$30 miliar pada 2027.
  • Perusahaan berlomba memanfaatkan AI untuk memenuhi ekspektasi pelanggan yang menginginkan layanan personal dan 24 jam, dengan fokus pada generative AI dan agentic AI untuk pengalaman pelanggan yang lebih proaktif.
  • Asia Pasifik mengalami saturasi mobile dengan penetrasi melebihi 100%, mendorong perilaku pelanggan yang menginginkan respon cepat dan layanan hiper-personalisasi dari brand melalui berbagai aplikasi messaging.

* Ringkasan ini dibantu dengan menggunakan AI

Bisnis.com, JAKARTA — Transaksi pelanggan agen AI melalui ponsel di Asia-Pasifik akan mencapai lebih dari US$32 miliar atau sekitar Rp520 triliun pada 2028.

Perusahaan pun berlomba memanfaatkan momentum ini, dengan total investasi diproyeksikan melampaui US$30 miliar (sekitar Rp487,53 triliun) pada 2027 untuk infrastruktur dan platform AI demi menghadirkan layanan personal dan 24 jam yang kini menjadi standar ekspektasi pelanggan.

Tren pertumbuhan AI tersebut ada dalam eBook “The AI Advantage: How Leading Brands Thrive in a 24 x 7 Customer World” atau Keunggulan AI: Bagaimana Brand Besar Bertahan dan Berkembang di Era Pelanggan 24/7. Laporan diluncurkan oleh Infobip, platform komunikasi berbasis cloud.

Nikhil Batra, Senior Research Director IDC Asia-Pasifik, menyampaikan diskusi tentang penggunaan AI untuk hubungan dengan pelanggan di Asia Pasifik kini telah bergeser dari ‘kalau’ menjadi ‘seberapa?’ - ‘seberapa dalam dan seberapa cepat’ penerapannya.

Pelanggan yang selalu aktif kini menuntut kepuasan instan, sesuatu yang tak lagi dapat dipenuhi model bisnis tradisional. Karena itu, persaingan bisnis kini bukan sekedar sudah menerapkan AI saja, tetapi juga mengelola kombinasi AI yang lebih canggih seperti generative AI dan agentic AI.

“Hal itu bertujuan untuk menghadirkan pengalaman yang proaktif dan membangun hubungan yang awet dengan pelanggan” ujarnya dalam keterangan resmi, Senin (25/8/2025).

Meskipun pelanggan terus aktif di platform digital, tetapi banyak bisnis yang justru masih kesulitan mengikuti perkembangan tersebut. Menurut laporan Infobip yang didukung riset IDC, 43% bisnis di Asia Pasifik menyatakan meningkatkan customer experience (pengalaman pelanggan) adalah tantangan operasional terbesar.

Sebab, datanya terpisah-pisah, setiap channel punya strategi yang berbeda dan tidak saling terhubung, serta tingginya biaya untuk menyediakan layanan 24 jam di berbagai negara, bahasa, dan regulasi yang berbeda.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, pada laporan ini menekankan peran teknologi AI yang terus berkembang, seperti generative AI, agentic AI, hingga conversational AI dalam membantu brand menyederhanakan operasional sekaligus menghadirkan pengalaman terhubung secara real-time pada setiap titik interaksi pelanggan.

IDC memprediksi, pada 2028, transaksi pelanggan di Asia-Pasifik akan mencapai lebih dari US$32 miliar melalui agen AI di ponsel mereka, yang secara otomatis bisa mencari, memilih, dan memutuskan pembelian barang maupun jasa.

Perusahaan pun berlomba memanfaatkan momentum ini, dengan total investasi diproyeksikan melampaui US$30 miliar pada 2027 untuk infrastruktur dan platform AI demi menghadirkan layanan personal dan always on yang kini menjadi standar ekspektasi pelanggan.

Menurut IDC, investasi AI untuk layanan pelanggan dan pemasaran di Asia-Pasifik tumbuh dengan laju tahunan gabungan (CAGR) 35% hingga 2029, mencerminkan skala dan urgensi transformasi. Pada 2028, sebanyak 40% brand B2C kelas menengah di kawasan ini diperkirakan akan memanfaatkan agen AI untuk menawarkan layanan 'white glove' atau 'eksklusif, yang sebelumnya hanya tersedia bagi pelanggan kelas premium.

Velid Begovic, VP Revenue APAC Infobip, mengatakan Asia Pasifik bukan sekadar negara pengguna mobile, bahkan sekarang sudah mobile-saturated, yaitu layanan mobile sudah mendominasi kehidupan masyarakat.

Sehari-hari, masyarakat di kawasan ini aktif menggunakan 5 hingga 6 aplikasi messaging berbeda, dan bisa berpindah-pindah antar aplikasi dengan mudahnya. Mereka pun berharap brand bisa mengikuti aktivitas mereka.

Pola pikir zero-wait juga berkembang di kalangan pelanggan, di mana mereka tidak mau mengantri, dialihkan, atau diminta mengulang informasi. Sayangnya, banyak bisnis belum siap memenuhi ekspektasi ini karena masih menggunakan sistem lama.

Bahkan penggunaan AI generasi awal, seperti chatbot sederhana yang tidak punya riwayat pelanggan, belum mampu memberikan layanan hiper-personalisasi seperti yang diinginkan pelanggan masa kini. AI sudah bukan lagi percobaan, melainkan penggerak utama customer experience.

“Yang kita lihat sekarang adalah lompatan besar. AI bukan lagi sekadar alat untuk menjawab FAQ, tetapi sudah menjadi agen yang mampu mengkoordinasikan pertukaran produk di berbagai messaging platform tanpa intervensi manual. Generative AI kini dapat menyusun pesan yang terasa dibuat khusus untuk satu orang, sesuai bahasa yang digunakan, dengan nuansa budaya yang tepat,” jelasnya.

Di kawasan Asia Pasifik, konektivitas mobile sudah sangat tersaturasi, dengan tingkat penetrasi mobile melebihi 100% di hampir semua pasar. Hong Kong mencatat 264%, Singapura 150%, Taiwan 145%, Jepang dan Korea Selatan masing-masing 140%, Malaysia 130%, serta Cina 110%.

Bahkan di negara berkembang seperti Indonesia, Filipina, Thailand, Vietnam, dan India, angkanya mencapai atau melampaui 110%. Hyper-konektivitas tersebut menumbuhkan perilaku baru di kalangan masyarakat.

Kini, mereka terbiasa mengakses beragam aplikasi dalam satu waktu seperti WhatsApp, LINE, WeChat, KakaoTalk, Zalo, dan Viber, bahkan bisa berpindah-pindah di tengah percakapan. Mereka berharap brand bisa mengikuti aktivitas tersebut, dengan respon yang cepat, sesuai konteks, dan relevan dengan tren.

Kukuh Prayogi, Business Lead Infobip Indonesia, menyampaikan dalam berbelanja online, masyarakat Indonesia punya perilaku yang cukup unik, yaitu menaruh barang yang ia inginkan di keranjang, tetapi tidak langsung check out. Hal ini menunjukkan adanya minat yang tinggi yang mungkin terkendala dengan berbagai faktor pertimbangan.

Perilaku ini disebut dengan cart abandonment. Di AS contohnya, brand bisa kehilangan keuntungan mencapai US$18 miliar per tahun. E-commerce yang menerapkan AI dalam chatbot, justru memanfaatkan kondisi cart abandonment ini, dengan merekam perilaku konsumen dan membantu konsumen membuat keputusan untuk membeli atau tidak.

“Masyarakat Indonesia pun termasuk cepat beradaptasi dengan teknologi baru, termasuk AI, sehingga kini tantangannya bukan lagi apakah pelanggan siap menerima teknologi ini, melainkan seberapa cepat bisnis bisa mengintegrasikannya untuk mendorong pertumbuhan,” imbuhnya.

Penulis : Hafiyyan
Editor : Hafiyyan
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami