Bisnis.com, JAKARTA – Dark data atau data yang tersimpan tanpa digunakan organisasi menjadi salah satu tantangan di tengah percepatan transformasi.
Chairman CISSReC Pratama Persadha menjelaskan bahwa dark data sering kali muncul tanpa disadari. Bentuknya beragam mulai dari log aktivitas pengguna, catatan komunikasi internal, arsip transaksi lama, hingga rekaman CCTV.
“Tingginya volume dark data di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari tren percepatan digitalisasi, sementara pengelolaan data belum sistematis. Akibatnya, data lama yang tidak berguna tetap disimpan tanpa kurasi atau pemusnahan,” imbuhnya saat dihubungi Bisnis, Kamis (28/8/2025).
Menurutnya, ancaman dark data bukan hanya persoalan teknis. Kebocoran data lama yang tersimpan di server lawas, misalnya, bisa menjadi sasaran empuk bagi peretas.
“Dark data bisa berisi informasi sensitif, seperti identitas pelanggan atau detail transaksi. Ketika tidak dikelola dengan baik, ia menjadi liability yang sewaktu-waktu bisa dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan siber,” tambahnya.
Ancaman dark data juga terlihat nyata dalam laporan Hitachi Vantara State of Data Infrastructure Survey. Survei yang melibatkan 50 responden IT di Indonesia menunjukkan, 24% data perusahaan di Indonesia teridentifikasi sebagai dark data—lebih dari dua kali lipat rata-rata global yang hanya 10%.
Kondisi ini bukan hanya membuang potensi bisnis, tetapi juga menimbulkan risiko finansial dan keamanan. Penyimpanan data lama yang tidak berguna membuat biaya infrastruktur melonjak.
Sementara dari sisi operasional, hanya 14% responden di Indonesia yang merasa datanya tersedia saat dibutuhkan, dan hanya 6% yang percaya pada hasil keluaran AI yang mereka gunakan.
Ironisnya, di saat investasi pada kecerdasan buatan (AI) diprediksi naik 124% dalam dua tahun mendatang, manajemen data justru masih rapuh. Pertumbuhan kebutuhan penyimpanan diperkirakan melonjak 29,6%, mempertegas urgensi strategi tata kelola data yang lebih matang.
Dark data bukan hanya persoalan perusahaan, tetapi juga menyangkut keamanan siber nasional. Kebocoran arsip data pribadi, misalnya, bisa dimanfaatkan untuk serangan siber lebih lanjut, mulai dari spear phishing hingga serangan APT (advanced persistent threat). Bahkan, Pratama menilai, Indonesia bisa menjadi “ladang emas” bagi aktor siber asing bila manajemen data tidak segera diperbaiki.
Di sisi lain, Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) memberi tekanan tambahan bagi organisasi. Setiap kebocoran data pribadi, termasuk dari dark data yang tidak lagi relevan, berpotensi mendatangkan sanksi hukum dan kerugian reputasi.
Meski gelap, Country Managing Director Hitachi Vantara Indonesia Ming Sunadi menilai bahwa dark data sejatinya menyimpan peluang.
Dengan tata kelola yang baik, perusahaan dapat menggali insight dari data lama, mendukung inovasi, hingga memperkuat strategi bisnis berbasis AI.
“Organisasi yang berorientasi pada data dan memprioritaskan tata kelola serta analitik berada dalam posisi yang lebih baik untuk mendorong inovasi dan tetap kompetitif,” ujarnya.
Oleh sebab itu. langkah ini menuntut keseriusan semua pihak pemerintah memperkuat regulasi, perusahaan berinvestasi pada teknologi tata kelola data, dan masyarakat meningkatkan kesadaran akan pentingnya melindungi informasi pribadi. Tanpa itu semua, dark data akan terus menjadi “bom waktu” yang mengancam keamanan, kepercayaan publik, hingga kedaulatan digital Indonesia.