Bisnis.com, JAKARTA - Untuk menghadirkan kasus pemanfaatan 5G yang lebih optimal, membutuhkan lebih banyak spektrum frekuensi.
Tanpa kehadiran spektrum, sulit menyuguhi layanan 5G mumpuni dan bermanfaat. Alhasil, masyarakat tidak menggunakan 5G meski fitur teknologi baru tersebut sudah berada di genggaman mereka.
Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Muhammad Ridwan Effendi mengatakan agar kasus pemanfaatan 5G lebih sempurna, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) perlu segera mengumumkan lelang frekuensi 700 MHz.
Menurut Ridwan beberapa wilayah yang sudah dipadamkan siaran analognya, dapat segera dilelang frekuensinya pada akhir 2021, sehingga terdapat tambahan frekuensi yang memungkinkan operator untuk menggelar layanan 5G yang lebih optimal.
Selain dari pita 700MHz, tambahan spektrum frekuensi juga berasal dari percepatan migrasi satelit yang beroperasi di pita 2,6 GHz dan pita 3,5 GHz.
“Lakukan migrasi pengguna 2,6 GHz mulai tahun ini, sehingga sebelum 2024 sudah selesai, karena kalau tidak kasihan pelanggan, manfaat yang diterima akan terlambat,” kata Ridwan, Selasa (3/8/2021).
Untuk diketahui, Android Authority, sebuah lembaga publikasi independen, melakukan jajak pendapat terhadap 1.300 pembaca mereka mengenai kebiasaan dalam menggunakan jaringan 5G, dari ponsel 5G yang mereka miliki.
Hasilnya, diketahui sebanyak 50 persen responden tidak mematikan 5G di perangkat mereka dalam keadaan apa pun. Kemudian, beberapa responden memastikan bahwa 5G selalu mati.
Sebanyak 39,4 persen responden menjalankan ponsel mereka tanpa 5G setiap saat. Hal tersebut diperkirakan karena para pengguna tidak melihat manfaat 5G atau berada di wilayah yang belum terlayani oleh teknologi.
Kemudian, lebih dari 10 persen pembaca mematikan 5G hanya ketika sinyal lemah atau baterai lemah.
Mengenai kasus pemanfaatan yang paling cepat untuk diimplementasikan di pasar ritel, kata Ridwan, adalah kasus pemanfaatan 5G untuk internet berkecepatan tinggi.
Butuh Waktu
Sementara itu, Ketua Program Studi Magister Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) Ian Yosef M. Edward berpendapat untuk memperkenalkan keunggulan 5G dan mengedukasi masyarakat untuk mengetahui perbedaan layanan 5G dengan 4G, membutuhkan waktu paling cepat 6 bulan sejak komersialisasi 5G pertama.
Selama rentang waktu tersebut, solusi-solusi baru dari 5G akan muncul, sehingga masyarakat makin tertarik untuk mengadopsi 5G.
“Ataupun saat layanan 5G sekurangnya sama dengan 4G dari segi cakupan dan harga layanan,” kata Ian.
Ian berpendapat pandemi Covid-19 seperti saat ini merupakan waktu yang paling tepat untuk memperlihatkan manfaat 5G.
Berbagai kasus pemanfaatan yang mendukung jalannya aktivitas jarak jauh dapat diperlihatkan sehingga masyarakat makin tertarik untuk memanfaatkan jaringan 5G dari gawai masing-masing.
Sementara itu Ketua Umum Indonesian Digital Empowering Community (IDIEC) M. Tesar Sandikapura memiliki pandangan berbeda mengenai fitur 5G yang tidak diaktifkan oleh para pengguna ponsel.
Menurutnya, hal tersebut disebabkan kehadiran 5G yang prematur. Layanan 5G belum dibutuhkan, namun jaringannya sudah tersedia. Alhasil, fitur 5G digawa tidak digunakan, karena semua kegiatan masih cukup dengan 4G.
"Indonesia ini terlalu cepat gelar 5G. Prematur. Jika 5G lebih cepat dari 4G dan tidak ada delay, terus apa manfaat selanjutnya?" kata Tesar.
Tesar menyarankan agar operator seluler penyelenggara 5G menajamkan riset untuk mencari kasus pemanfaatan 5G yang tepat bagi pelanggan ritel. Satu-satunya kasus implementasi 5G yang dapat diterapkan dalam waktu dekat adalah untuk pengganti layanan internet tetap atau fixed broadband.
"Internet rumah paling 100Mbps, kalau memang 5G sangat cepat, digantikan saja dengan 5G. Lebih murah dan cepat," kata Tesar.