Bisnis.com, JAKARTA - Killer application atau aplikasi andalan teknologi 5G tak kunjung muncul meski jaringan telah tersedia sejak 3 tahun lalu. Menimbulkan pertanyaan mengenai nasib penggelaran di tahun politik hingga kepentingan di balik dorongan kuat ekspansi teknologi generasi kelima, demi kepentingan publik atau vendor perangkat seperti Huawei, Ericsson, ZTE dan Nokia?
Killer Application atau Killer Apps adalah suatu program komputer yang sangat diperlukan atau diinginkan, yang kemudian secara subtansi dapat meningkatkan penjualan suatu teknologi karena adanya kebutuhan untuk menjalankan program tersebut.
Diketahui, pemerintah terus berupaya untuk menghadirkan internet cepat di Tanah Air, dengan harapan peringkat kecepatan internet RI di mata global meningkat. Salah satu caranya adalah mendorong penggelaran 5G.
Namun, jika melihat kondisi 5G di India, negara besar yang secara geografis hampir mirip dengan Indonesia, penggelaran mulai diperlambat.
Diberitakan oleh The Economic Times (ET), perusahaan telekomunikasi di India diperkirakan memangkas belanja modal atau capital expenditure (capex) 5G pada 2024 usai jorjoran investasi selama 18 bulan belakangan.
Perusahaan dimaksud yakni Reliance Jio dan Bharti Airtel, yang disebut menghabiskan secara kolektif US$25 miliar untuk investasi jaringan maupun spektrum 5G selama satu 1,5 tahun sebelumnya.
Direktur Utama Bharti Airtel menyebut perusahaannya dan Jio telah secara kolektif menghabiskan investasi setara Rp395,72 triliun (sesuai kurs jisdor BI per dolar AS 26 Januari 2024).
Namun demikian, investasi itu disebut menjadi beban yang cukup besar lantaran tidak berbanding lurus dengan pendapatan perusahaan. Apalagi, kedua perusahaan menawarkan layanan 5G dengan tarif 4G.
Sejumlah analis pun memperkirakan belanja modal di India untuk investasi 5G akan berkurang sepanjang 2025-2026.
Moderasi dalam belanja investasi perusahaan-perusahaan telekomunikasi nasional di India diperkirakan bakal berdampak juga pada perusahaan asing yang ada di sana, seperti Nokia maupun Ericsson.
Ketua Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Ian Yosef M. Edward menduga lambatnya pertumbuhan 5G di India disebabkan oleh kasus pemanfaatan dan ekosistem 5G yang belum terbentuk.
Alhasil, investasi besar yang digelontorkan memberikan pengembalian yang kurang optimal.
“Use case 5G yang killer, produknya belum ketemu. 5G kerap kaitannya dengan latensi
Sementara itu, Ketua Umum Indonesia Digital Empowering Community (Idiec) M. Tesar Sandikapura memperkirakan kondisi di India berpeluang terjadi juga di Indonesia.
Penggelaran 5G akan mengalami hambatan karena pasar belum siap dan kasus pemanfaatan serta killer applications 5G yang belum optimal.
“Kita belum membutuhkan 5G. Teknologi baru bukan berarti tidak bagus. Kalau tidak ada use casenya untuk apa? Contoh saja metaverse,” kata Tesar.
Di sisi pasar, seluruh aplikasi saat ini masih dapat digerakkan dengan jaringan 4G. Masyarakat, menurutnya, juga belum siap ketika 5G hadir, kuota data masyarakat cepat berkurang.
“Ibaratnya sudah enak pakai Innova sekarang diminta untuk pakai Alphard, buat apa?” kata Tesar.
Tesar mengatakan jika pemerintah melihat kebutuhan masyarakat maka seharusnya tidak harus buru-buru dalam menggelar 5G.
Pemerintah lebih baik mendahulukan pemerataan internet cepat 4G dan memperluas cakupan serat optik di sejumlah wilayah.
Agresivitas penggelaran 5G dapat dilakukan seandainya masyarakat sudah merasa bahwa 4G tidak layak pakai, karena kondisi internet yang buruk. Faktanya, saat ini kecepatan internet Indonesia terus mengalami peningkatan dengan 4G.
Situs pengujian kecepatan internet milik Ookla, Speedtest, melaporkan bahwa rata-rata kecepatan unduh Indosat pada kuartal IV/2023 mencapai 20,31 Mbps, tertinggal dari Telkomsel dan Xl Axiata, yang masing-masing sebesar 31,14 Mbps dan 20,77 Mbps.
Namun, jika dilihat berdasarkan pertumbuhan kecepatan internet tahunan, kualitas internet Indosat tumbuh signifikan yaitu 7,54 Mbps, tertinggi nomor dua setelah Telkomsel yang tumbuh 10,29 Mbps. Pertumbuhan kecepatan internet signifikan juga dicatatkan oleh Tri, yang tumbuh dari 10,90 Mbps pada kuartal IV/2022 menjadi 19,95 Mbps pada kuartal IV/2023.
Dia menduga ada desakan dari vendor perangkat dalam mempercepat penetrasi 5G, di tengah layanan 4G yang masih optimal.
“Karena artinya memang ada faktor vendor juga, yang memaksa untuk langsung pindah ke 5G. Ini kesalahan pemerintah untuk melihat kebutuhan pasar,” kata Tesar.
Sementara itu, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemenkominfo Usman Kansong membantah penggelaran 5G demi kepentingan vendor seperti Ericsson, Huawei, ZTE dan lain sebagainya.
Penggelaran 5G akan tetap dipercepat pada tahun ini dibandingkan dengan tahun sebelumnya dengan memberikan insentif kepada operator yang menggelar 5G.
“[percepatan penggelaran 5G] Untuk kepentingan publik,” kata Usman.
Sekadar informasi, saat ini Telkomsel, Indosat, XL Axiata dan Smartfren telah menggelar layanan 5G secara terbatas. Telkomsel tercatat telah mengoperasikan 470 unit BTS 5G pada 2023.
Sementara itu Indosat mengoperasikan 90 BTS 5G pada kuartal III/2023, secara tahunan jumlahnya belum bertambah seiring dengan strategi ISAT yang selektif dalam menggelar 5G. XL Axiata telah mengantongi izin untuk menggelar 5G, namun tidak pernah menyampaikan jumlah BTS 5G yang dimiliki. Smartfren belum diketahui jumlahnya.
Adapun menurut laporan Ookla Desember 2023, kecepatan rata-rata internet seluler di Indonesia mencapai 24,96 Mbps. Indonesia berada di posisi 97 dari 146 negara di dunia dan peringkat 9 dari 11 di negara Asia Tenggara.