Bisnis.com, JAKARTA — Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) menilai kebijakan pemerintah mengalokasikan pita frekuensi 1,4 GHz untuk teknologi Fixed Wireless Access (FWA) 5G merupakan langkah tepat untuk mengejar ketertinggalan Indonesia. Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Menurut laporan Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) penetrasi broadband tetap Indonesia sekitar 15-20%, tertinggal dari Vietnam (43%) dan Thailand (38%). Indonesia butuh terobosan untuk meningkatkan penetrasi internet tetap.
Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Mastel Sigit Puspito Wigati Jarot menyebut langkah ini bisa menjadi solusi hemat biaya untuk meningkatkan penetrasi broadband tetap yang masih di bawah 20% sekaligus memacu produktivitas generasi muda. Namun, dia mengingatkan pemerintah agar tak abai pada kualitas layanan, kesehatan industri, dan beban biaya regulasi yang masih menghambat operator.
“Pilihan teknologi Fixed Wireless Access (FWA) mungkin pilihan yang tepat dan timely. Karena penggelarannya jauh lebih hemat biaya dan lebih cepat, dibandingkan dengan menggelar fiber optik,” kata Sigit kepada Bisnis, Minggu (23/2/2025).
Sigit menambahkan pilihan pita frekuensi 1.4 GHz yang merupakan salah satu pita 5G, diharapkan bisa menjadi terobosan atas kelambanan penggelaran 5G di Indonesia, yang makin hari makin tertinggal dari negara lain.
Kelambanan ini jika tidak segera dicari solusi, bisa berdampak hilangnya kesempatan generasi muda yang lebih butuh digital dan broadband berkualitas untuk bisa lebih produktif dan berinovasi.
Dari sisi biaya pemenang seleksi, pilihan pemberian izin frekuensi yang bersifat regional bukan nasional, diharapkan dapat menjadi jalan mengurangi beban biaya regulasi frekuensi yang selama ini menjadi salah satu faktor penting tidak sehatnya industri telekomunikasi.
Sigit mengatakan meski demikian, untuk memastikan agar langkah ini memberikan manfaat besar bagi Indonesia, pemerintah perlu menjamin komitmen layanan secara kualitas kecepatan broadband dan cakupan layanan, dengan mengkombinasikan antara daerah yang menguntungkan dengan daerah yang mungkin lebih menantang.
“Jangan sampai yang terbangun hanya di tempat-tempat yang menguntungkan saja. Kedua, perlu mempertimbangkan kelayakan dan kemampuan pemenang lelang untuk mewujudkan target tersebut. Jangan sampai tujuan penting dan strategis secara nasional untuk terhambat oleh misalnya kondisi sebuah perusahaan,” kata Sigit.
Sigit juga mengusulkan agar pemenangnya secara nasional bisa lebih dari satu. Meskipun ada juga contoh negara yang penggelaran 5G hanya dengan satu entitas, namun perlu dukungan dan regulasi yang ketat.
Terakhirnya, pemerintah perlu juga mengantisipasi dampak seleksi buat kesehatan industri telekomunikasi secara umum dan juga iklim persaingan usaha. Perlu dipastikan tidak makin memperburuk kesehatan industri dan juga melanggar aturan-aturan persaingan usaha, setelah lelang digelar.