Bisnis.com, JAKARTA — Pengguna teknologi kecerdasan buatan (AI) di dunia melesat tajam seiring dengan munculnya aplikasi baru berbasis AI.
Menurut laporan Business of Apps, dilansir dari DataIndonesia.id, jumlah pengguna aplikasi kecerdasan buatan global mencapai 691 juta pengguna pada semester I/2025. Jumlah ini melesat 40,16% dibandingkan dengan semester sebelumnya yang sebanyak 493 juta pengguna.
Jumlah pengguna aplikasi kecerdasan buatan pada semester I/2025 juga melonjak 128,05% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Pada semester I/2024, jumlahnya tercatat sebanyak 303 juta pengguna.
ChatGPT menjadi aplikasi AI yang paling banyak digunakan di dunia saat ini. Tercatat, jumlah pengguna aktif chatbot AI yang dikembangkan oleh OpenAI tersebut mencapai 400 juta per Maret 2025. Angka tersebut meningkat 33,33% dibandingkan Desember 2024 yang sebanyak 300 juta pengguna.
Lebih lanjut, pendapatan aplikasi kecerdasan buatan atau artificial intelligence/AI di dunia mencapai US$4,5 miliar pada 2024. Jumlah tersebut diproyeksi melonjak 204,44% menjadi US$13,7 miliar pada 2025.
Pendapatan aplikasi kecerdasan buatan secara global diperkirakan masih terus tumbuh hingga 2030 mendatang. Pada 2030, nilainya diramal mencapai US$156,9 miliar.
Melihat trennya, pertumbuhan pendapatan aplikasi kecerdasan buatan di dunia mencapai tiga digit sepanjang 2023 hingga 2026. Kemudian, pertumbuhan tersebut turun menjadi dua digit hingga tahun 2030.
Sebelumnya, Presiden Kolaborasi Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial (KORIKA) Hammam Riza, menegaskan target Indonesia menjadi lima besar ekonomi dunia pada 2045 tidak akan tercapai dengan pendekatan konvensional.
“Kita perlu menjadikan AI sebagai akselerator. AI dapat merevolusi semua sektor strategis dan membawa kita dari ekonomi berbasis efisiensi menuju ekonomi berbasis inovasi,” kata Hammam dalam World AI Show Indonesia 2025 di Jakarta pada Selasa (8/7/2025).
Dia mengungkapkan berdasarkan proyeksi, kontribusi AI terhadap ekonomi Indonesia bisa mencapai US$366 miliar atau setara dengan Rp5.965,8 triliun (dengan asumsi kurs Rp16.300 per dolas AS) pada 2030.
Namun, untuk menjadi bangsa yang tidak hanya menjadi pasar AI melainkan juga pengembang AI, diperlukan kedaulatan digital yang kuat.
Hammam menyebutkan empat tantangan utama yang perlu dijawab dalam perjalanan AI Indonesia menuju 2045.
Beberapa di antaranya yakni kesenjangan talenta, infrastruktur dan akses, keamanan dan privasi data, serta regulasi dan etika.
“Saat ini kita butuh 9 juta talenta digital pada 2030, tapi jumlahnya baru sekitar 200 ribu. Ini menunjukkan urgensi pengembangan talenta secara inklusif,” katanya.
Senada dengan Hammam, Ayu Purwarianti, anggota Satuan Tugas Nasional Pengembangan Talenta AI Indonesia, menekankan pentingnya literasi AI bagi seluruh lapisan masyarakat. Menurutnya, AI harus dibagi dalam tiga pendekatan: AI untuk semua, AI untuk banyak orang, dan AI untuk sedikit orang.
“AI untuk semua berarti setiap orang Indonesia, bahkan yang tidak menggunakan atau mengembangkan AI sekalipun, tetap perlu memiliki literasi tentang AI. Mereka perlu tahu bahwa ada risiko di balik teknologi ini, seperti deepfake atau penipuan digital,” kata Ayu.