Author

Nazrya Octora

Praktisi Komunikasi, Head of Public Relations Blibli

Lihat artikel saya lainnya

OPINI: Mengembalikan Ruh Komunikasi di Era Viral

Nazrya Octora
Jumat, 18 Juli 2025 | 08:33 WIB
Menara telekomunikasi dengan jaringan 4G dan 5G/Telkomsel
Menara telekomunikasi dengan jaringan 4G dan 5G/Telkomsel
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Tiga dekade lalu, komunikasi ada­­­lah per­­­temuan batin. Ia lahir dari kebutuhan untuk dipahami, bukan hanya didengar. Saat itu, percakapan punya makna karena dilandasi keinginan untuk saling mengerti.

Kini, dunia digital mengubah wa­­­jah komunikasi menjadi ta­­­­yangan singkat yang ber­­­kejaran di lini masa ra­­­mai, cepat, dan sering kali tak menyisakan ruang un­­­tuk perenungan. Di era me­­­­dia sosial, percakapan tak lagi sekadar tentang isi pesan, tapi tentang im­­­pre­si: berapa banyak yang me­­­nyukai, membagikan, atau mengomentari. Ruh komunikasi perlahan me­­­mu­­­dar, tergantikan oleh “ke­­­butuhan” untuk tampil, untuk viral, untuk dianggap ada.

Secara psikologis, ini bu­­­kan gejala yang sepele. Dopamin zat kimia penghargaan di otak dilepaskan bukan hanya saat kita menerima “like,” tetapi juga ketika kita melontarkan ekspresi kemarahan yang divalidasi publik. Siklus ini seperti mematuhi skema variable ratio reinforcement pada mesin judi di mana kita terus mencoba karena tak tahu kapan unggahan kita akan “meledak”.

Keinginan menjadi viral sesungguhnya berakar pada dua dorongan psikologis: kebutuhan akan signifikansi sosial, dan kebutuhan akan otonomi mengendalikan narasi diri. Ironisnya, demi mengejar kebebasan berekspresi, kita justru terjebak dalam mekanisme umpan balik yang ditenagai klik orang banyak.

Dalam konteks ini, kebutuhan dasar manusia untuk merasa signifikan dan didengar bermetamorfosis menjadi kebutuhan akan validasi instan. Bahkan kemarahan pun kini dikapitalisasi: studi menunjukkan bahwa unggahan bermuatan emosi negatif, terutama kemarahan moral, cenderung lebih mudah viral dibanding konten yang bernuansa netral. Kita lebih memilih mengekspresikan kekesalan secara terbuka daripada menyelesaikannya secara personal. Ujaran kebencian pun menjadi komoditas algoritmik.

Salah satu bentuk nyata dari pergeseran ini adalah cara masyarakat menyampaikan keluhan. Komplain yang dahulu disampaikan secara langsung kini dialihkan ke media sosial, bukan semata karena kecewa, tapi karena tahu bahwa perhatian publik akan mempercepat respons. Konsumen merasa memiliki “kuasa” saat suara mereka disaksikan ribuan mata.

Komplain publik kini lebih “seksi” ketimbang percakapan privat, menimbulkan pergeseran makna komunikasi yang semestinya dua arah berubah menjadi pertunjukan satu arah: menyampaikan agar dilihat, bukan agar dimengerti.

Dari perspektif teori komunikasi, media sosial menyediakan spectator audience—hadirin yang memperbesar tekanan bagi brand untuk segera merespons. Konsumen memindahkan keluhan ke ruang publik demi mempercepat solusi, tetapi juga demi merasakan kekuasaan simbolik: “brand besar itu akhirnya mendengar suara saya.” Sayangnya, proses ini sering menyingkirkan good faith assumption dan menggantikannya dengan asumsi apriori: brand bersalah sampai terbukti sebaliknya.

MAKNA INTERAKSI

Fenomena ini kemudian menjadi tantangan bagi dunia industri, khususnya dalam membangun relasi antara brand dan audiens. Tak heran bila muncul tren “memanusiakan brand”— sebuah upaya untuk mendekatkan institusi korporat dan kebutuhan manusiawi pelanggan.

Namun, pendekatan ini sering kali disalahartikan. Banyak brand berlomba-lomba tampil santai, menggunakan bahasa gaul, atau membalas komentar dengan emoji dan humor sarkastik, seolah kedekatan hanya soal gaya bicara. Padahal, esensi memanusiakan merek bukan soal meniru slang warganet, melainkan menempatkan empati, kejujuran, dan kerentanan terukur sebagai poros interaksi.

Di tengah keramaian dunia digital, industri seharusnya mulai menggeser fokus dari “viralitas” ke “vitalitas”—dari kuantitas keterlibatan ke kualitas hubungan. Pengukuran keberhasilan bukan dari seberapa sering nama brand disebut, tetapi seberapa dalam makna yang dirasakan audiens dari setiap interaksi. Komunitas daring perlu difasilitasi bukan sekadar untuk menggemakan promosi, tapi untuk membangun ruang dialog yang sehat.

Pada akhirnya, manusia tetaplah titik pusat dari komunikasi. Media sosial hanyalah alat; tetapi pilihan untuk menyampaikan dengan hormat, mendengar dengan niat, dan merespons dengan empati, adalah tindakan sadar yang tak bisa digantikan algoritma.

Kita mungkin tak bisa sepenuhnya membendung derasnya budaya klik, tetapi kita bisa memilih untuk tidak tenggelam di dalamnya. Bagi industri, memenangkan hati berarti terlebih dulu memenangkan martabat percakapan.

Bagi individu, menjadi viral sekejap tidak akan pernah menandingi ketenangan batin saat didengar sepenuh hati. Ketika scrolling berhenti, tersisa interaksi nyata antar-manusia, saling bertanya, “Apa kabarmu hari ini?” Itulah ruh komunikasi yang harus kita rawat kembali.

 

Penulis : Nazrya Octora
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami