Dari sisi keuangan, PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk. (GOTO), induk Tokopedia, mencatatkan penyusutan rugi bersih sebesar 61% secara tahunan (yoy) menjadi Rp367 miliar pada kuartal I/2025, dari sebelumnya rugi Rp937 miliar pada periode yang sama tahun lalu. Pendapatan GOTO naik 4% menjadi Rp4,23 triliun dari Rp4,07 triliun.
Perseroan juga berhasil membalikkan rugi EBITDA yang disesuaikan menjadi laba sebesar Rp393 miliar, dari sebelumnya minus Rp146 miliar. Dari sisi bisnis e-commerce, Tokopedia mencatatkan imbalan jasa sebesar Rp217 miliar pada kuartal I/2025.
Sementara itu, dan Sea Ltd., induk dari Shopee membukukan laba bersih US$410,8 juta pada kuartal I/2025, berbalik dari rugi US$23 juta pada periode yang sama tahun lalu. Pendapatan perusahaan naik 29,6% menjadi US$4,8 miliar.
Unit e-commerce Shopee menjadi penyumbang terbesar dengan pendapatan mencapai US$3,1 miliar atau naik 28,3% yoy.
Shopee juga mencatatkan EBITDA yang disesuaikan sebesar US$264,4 juta, berbalik dari rugi US$21,7 juta. CEO Sea Ltd., Forrest Li, menyebut keberhasilan ini berkat strategi operasional yang konsisten.
Penyesuaian Model Bisnis
Sementara itu, Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) menjelaskan alasan dilakukannya penarikan biaya pemrosesan pesanan oleh sejumlah platform e-commerce.
Sekretaris Jenderal idEA, Budi Primawan, mengatakan kebijakan tersebut tidak bisa terlepas dari dinamika bisnis digital dan sejumlah kebijakan pemerintah yang mendorong penyesuaian model bisnis.
“Kebijakan biaya pemrosesan order yang diberlakukan oleh beberapa platform e-commerce pada tahun ini tidak lepas dari dinamika bisnis digital dan adanya beberapa kebijakan pemerintah yang mendorong penyesuaian model bisnis platform,” kata Budi saat dihubungi Bisnis pada Minggu (3/8/2025).
Budi mengatakan industri e-commerce saat ini menghadapi tantangan untuk menjaga keberlanjutan operasional di tengah persaingan ketat, kenaikan biaya logistik, dan terbatasnya akses pendanaan eksternal. Menurutnya setiap platform tentu memiliki pertimbangan bisnis masing-masing.
Dari sisi asosiasi, pihaknya memahami momen ini sensitif karena daya beli masyarakat sedang tertekan, sehingga komunikasi yang transparan kepada konsumen dan seller menjadi kunci agar kebijakan ini tidak menimbulkan persepsi negatif yang berlebihan.
Budi menambahkan meskipun besaran biaya pemrosesan yang dikenakan per transaksi relatif kecil, dampaknya bisa terasa signifikan bagi seller dengan margin keuntungan yang tipis, terutama pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
“Platform biasanya mengantisipasi hal ini dengan mengoptimalkan promosi, subsidi ongkir, atau insentif untuk menjaga minat belanja tetap stabil,” katanya.
Dampak ke Transaksi
Di sisi asosiasi, Budi menyatakan pihaknya mendorong dialog dengan para anggota untuk memantau tren transaksi agar penyesuaian seperti ini tidak sampai menurunkan kepercayaan pengguna terhadap ekosistem digital.
Penarikan biaya pesanan diakuinya berpotensi memengaruhi perilaku konsumen dan pelaku usaha kecil. Kendati nilainya relatif kecil, beban tambahan tersebut tetap dapat berdampak pada transaksi, terutama bagi pelaku UMKM yang mengandalkan margin tipis.
“Dari sisi asosiasi, biaya pemrosesan order sebesar Rp1.250 per transaksi relatif kecil, tetapi tetap berpotensi memengaruhi konsumen dan seller UMKM yang memiliki margin tipis,” ujar Budi.
Dalam jangka pendek, lanjut Budi, dampak terhadap volume transaksi bisa ditekan jika platform mengimbanginya dengan promosi atau subsidi ongkir. Di sisi lain, menurutnya komunikasi yang transparan tetap penting agar kepercayaan pengguna tidak turun di tengah pelemahan daya beli.
“Kami menyarankan pemerintah untuk terus memantau perkembangan industri ini dan mendukung dialog dengan pelaku e-commerce agar kebijakan bisnis seperti biaya tambahan tetap seimbang, di satu sisi mendukung keberlanjutan platform, di sisi lain tidak terlalu membebani konsumen dan UMKM,” kata Budi.